2

5.4K 455 48
                                    

Sejak kejadian itu aku tidak pernah bertemu dengan cewek bernama Mel itu lagi. Aku sibuk melanjutkan turnamen setelahnya. Meskipun, kampus kami cuma sampai perempat final, tapi hasilnya lebih baik dari tahun lalu, aku dan kawan-kawan berharap peningkatan ini berimbas pada kenaikan anggaran dari kampus untuk tahun berikutnya.

Hanya saja, tak ku pungkiri hampir setiap malam, terutama menjelang tidur, aku sering teringat peristiwa ganjil itu: tentang darah di toilet, juga  perasaan tercabik ketika aku memandikan, mengkafani, menyolatkan dan mengubur bongkahan merah itu. Pandanganku berkunang-kunang selama melakukan prosesi itu.

Aku ingat, cewek bernama Mel aku beri tugas menggali tanah di bawah pohon kamboja di area pemakaman dekat kosku. Sedikitpun dia tidak  protes waktu kutinggal sendirian malam-malam. Bahkan saking paniknya aku mengurus prosesi layaknya jenazah, aku tidak membekali Mel apa-apa untuk menggali tanah, yang aku tahu begitu aku kembali ke sana, lubang untuk mengubur sudah tersedia sedalam kira-kira 60 cm. Disamping lubang itu ada sebilah potongan bambu yang entah dia peroleh dari mana. Ada noda darah di bagian pinggir bilah bambu itu. Aku yakin tangannya berdarah karena gesekan bambu ketika menggali.

Dia tidak mengeluh apa-apa tentang tangannya. Dia memang menangis, air matanya mengalir deras, tapi aku mengira air matanya tumpah untuk bongkahan janin berbalut kain putih, Mel pasti sedih ketika aku meletakan janinnya ke dalam lubang yang dia gali. Kepalanya bertumpu pada batang kamboja, persis di atas lubang itu, matanya bahkan lurus menghadap lubang.  Mel menyaksikan aku mengubur janinnya. Anaknya.

Setelah proses mengubur janinnya selesai, dengan cahaya seadanya dari senter kecil milikku, aku memimpin doa, sebisaku, berdasarkan pengalamanku mendampingi Abah ketika melakukan prosesi pemakaman. Aku ingin memberikan kepatutan yang seharusnya. Aku berdoa semoga Tuhan mengampuni segala kekurangan dan keterbatasan ku melakukan prosesi pemakaman. Tidak ada yang bisa ku ajak berembuk, karena Mel tidak menghendaki seorang pun tahu.

Aku sempat bertanya padanya, "Siapa nama anakmu ini?"

Dia terdiam sebelum menyahut, "Haruskah kuberi nama?"

"Aku tak tahu, tapi bukankah mendoakannya lebih afdol jika tersurat nama?" kataku.

"Begitu ya," Dia terdiam, masih dengan mata yang basah.

"Aku tidak tahu apa dia laki-laki atau perempuan."

"Mungkin kamu bisa memberi nama yang cocok untuk laki-laki maupun perempuan. Aku tak tahu."

Dia tertegun. Aku melihat dari bias cahaya senter matanya mengerjap pelan. Semelir angin membawa aroma wangi bunga melati yang pohonnya entah tertanam di mana.

Lalu Mel bicara dengan suara tidak terlalu jelas — seperti mengigau, " Haruuum, Aruuum ... ya, Arum! Kau punya pisau kecil?"

"Untuk apa?" Tanyaku curiga.

"Sudah cepat, ada tidak?"

Aku kebingungan dan menggeleng cepat. Tapi tak lama aku ingat, kalau gantungan kunciku ada gunting kuku, dan biasanya di dalam gunting kuku ada bagian yang terlipat berbentuk pisau.

"Kalau ini?" Kataku mengayunkan gantungan kunci di depannya.

Mel langsung menarik pisau kecil dari lipatan gunting kuku itu dan mengukir huruf-huruf di batang kamboja dengan pisau mungil itu, persis diatas gundukan tanah. Jika diperhatikan, batang pohon kamboja itu menyerupai nisan.  Mel mengukir hutuf A - R - U - M di sana.

"Ayo kita berdoa sekali lagi, sekarang dia sudah punya nama." Serunya. Aku pun mengulang doa dengan sematan nama Arum di dalamnya.

Sejak itu aku tak lagi bertemu dengan Mel. Aku sendiri tak sempat bertanya, dia dari jurusan apa, angkatan tahun berapa dan tak sekalipun aku berpapasan dengannya di kampus atau di kantin, perpustakaan, bahkan toilet. O, ya, aku menjadi ngeri setiap ingin masuk toilet kampus, aku sekarang lebih sering menumpang di kampus AA, kampus lain yang masih berada dalam satu komplek.

DARAH MuDA (1) EEPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang