15

1.1K 199 19
                                    


"Tutup gerbang cepat!" teriakku begitu tubuh kami mampu melewati pagar.

Braaakkk! Bunyi pagar yang ditutup keras, nyaris berbarengan dengan sebuah suara ledakan. Kami harus segera menutupnya, setelah sebelumnya aparat mampu masuk mengejar masa yang berlarian kesini dan merusak beberapa fasilitas kampus. Betul, kami terisolir tak bisa keluar, karena aparat seperti mengepung  kawasan ini. Termasuk kami yang berada di kampus Sanata Darma, IKIP dan UNGE. Tak ada celah, karena jumlah aparat makin banyak tiap jamnya. Kami hanya bisa menunggu. Menunggu sampai situasi kondusif.

Tak hanya mahasiswa, bahkan pedagang keliling yang apes kebetulan ada di lokasi tak luput dari terjangan petugas. Padahal salah apa mereka? Pedagang kaki lima atau penjaja keliling hanya mendekati kerumunan agar dagangannya laris. Mana paham mereka urusan politik. Mereka hanya memperkirakan hari ini dagangan bakal laris-manis tanjung kimpul. Tapi aagh sudahlah bisa panjang membahas ini.

Diluar pagar situasi makin mencekam dengan teriakan-teriakan orang mengaduh, menjerit, bahkan sampai melolong pilu. Entah apa yang terjadi. Kami membayangkannya saja sudah merasa tak berdaya. Bukan takut, tapi getir tak terperi. Aku hanya berharap sikap dan kebulatan tekad kami, beserta cucuran darah ini tak sia-sia. Biarlah kami di kepung dan entah sampai kapan, tapi setiap perjuangan pasti ada ujungnya. Ada akhirnya. Menang atau kalah!

"Yang namanya Eep mana?" teriak seseorang yang tengah giliran jaga gerbang, melalui megaphonenya.

"Goblok jangan pakai megaphone! Sama saja kau kasih identitas!" hardik Suryo sambil berjalan cepat menghampiri orang pemegang megaphone itu.

"He, negur biasa aja kali. Nggak perlu goblok-goblokin orang!" jawab orang itu balik menghardik, merasa tak terima. Aku lari mendekat. Semua lelah. Semua tensi tegang. Sedikit saja bisa picu apapun.

"Sudah, maafin temen saya. Saya Eep, ada apa?"

" Ada orang cari kamu, katanya pak Hans. Gimana masukin nggak?"

"Itu do ... Ehm ya saya kenal beliau, biar saya jemput kedepan," jawabku. Nyaris saja kubilang dosen kami.  Ya jaga-jaga saja, namanya situasi begini suka banyak spion dimana-mana.

Aku bergegas menjemput pak Hans. Beliau datang seorang diri dengan dua kantong plastik ukuran jumbo di tangan kanan dan kirinya. Memakai jaket gunung dan topi Nipon, serta berkacamata dengan bingkai tebal. Pangling juga dengan penampilan seperti itu.

"Pak Hans .." sapaku mengulurkan tangan.

"Ep, Bapak bawa sedikit makanan, semoga berguna. Kalian baik-baik saja kan?"

"Terimakasih Pak, Bapak berani betul, situasi di luar kan sedang kacau."

"Dari pada gelisah mikirin kalian di kampus dengan bunyi jedar jedor, Bapak nekat saja," Pak Hans menyodorkan bawaannya padaku dan Suryo. Kami terus melangkah masuk.

"Waduh ternyata banyak juga, cukup tidak ya Sur?" tanyanya begitu sadar keadaan sekeliling. Suryo melongok isi kantong plastik yang di genggamnya.

"Saya rasa satu bungkus bisa buat dua atau tiga orang cukup pak."

Aku setuju. Dari cara lipatan bungkusnya, ini pasti dari rumah makan Padang. Biasanya porsi nasi memang lebih banyak. Kami kemudian terlibat obrolan seputar kejadian hari ini, sementara yang lain mulai makan. Aku tak nafsu makan. Pikiranku tak tenang melihat Mel belum sadar juga. Aku tak tahu apa dia sudah mati atau masih hidup. Karena beberapa orang masih sibuk merubungi dia. Aku tak berani mendekat. Aku cuma berharap setidaknya ada satu saja disana tenaga medis. Atau apapun yang paham dunia kedokteran.

"Ada satu mahasiswi tak sadarkan diri dengan luka lumayan parah Pak, apa bisa ya kita bawa ke rumah sakit?" Tahu-tahu saja aku meluncurkan kalimat yang sebetulnya aku niatkan dalam hati. Aku terperanjat sendiri. Betul.

DARAH MuDA (1) EEPNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ