8

1.6K 216 29
                                    


Dua hari berturut-turut aku tak bisa lepas pikirkan Wulan anak bapak Baskoro itu. Aneh dan entah kenapa terus menari-nari di kepala. Aku juga tak terlalu merasa nyaman tentang posisi dia di ring dua seperti yang Suryo katakan. Bukan karena penasaran apa dan siapa siapa itu ring dua. Aku tak peduli sebenarnya. Siapapun posisi kami, baik yang berperan langsung turun ke jalan, atau para ketua aliansi, atau yang berperan sifatnya lebih politis seperti di ring dua atau satu, bagiku sama saja. Kita semua sedang memperjuangkan suatu gerakan untuk perubahan. Tak penting posisi kita berada di mana.

Hanya perasaanku mungkin terlanjur terbawa jauh kasus Wulan ini. Bagaimana teguhnya tekad sampai berani keluar dari rumah, tempat segala kasih sayang keluarga tercurah. Aku merasa ikut terpukul melihat penyesalan pak Baskoro telah mengusir anak perempuannya. Seorang diri tanpa sepeser pun sokongan. Aku jadi membayangkan bagaimana dia bisa bertahan. Okelah kalau urusan makan kita anak-anak kos misalnya, biasa saling bahu membahu. Kadang kita terbiasa "mengakali" uang terbatas tapi bisa makan kenyang dengan teman. Warung-warung makan andalan kita sudah tahu, kalau kita ambil nasi banyak lauk seuprit dan di bawa pulang, pasti kondisi keuangan sedang tidak kondusif. Biasanya sampai kos nasi kita bagi dua, lauk kita bagi dua tinggal bubuhi kecap yang banyak beres perkara! Ha ha.

Tapi bagaimana Wulan memikirkan biaya kuliah, tempat tinggal dan hal-hal sekunder lainnya? Itu lumayan menggangguku. Aku prihatin sekali kalau sampai putus kuliah. Perjuangan memang penting tapi menyelesaikan kuliah jelas maha penting. Tapi di sisi lain, jika melihat posisinya ditarik ke ring dua, pastilah dia bukan mahasiswa sembarangan juga, dia pasti dinilai punya kapasitas mumpuni, lebih dari sekedar mengatasi urusan kuliah. Hanya entahlah, aku penasaran saja. Rasa penasaran inilah yang mendorongku diam-diam menyelidiki kabarnya. Aku berusaha mencari info dengan mendatangani kampusnya. Tentu pura-pura urusan per-korlap-an dengan Reza. Aku harap dapat sesuatu dari sekedar "ring dua".

Oh ya, aku ceritakan kegelisahanku ini pada Mel. Ini juga aneh, kenapa untuk urusan tertentu aku merasa lebih "masuk" bicara dengan Mel dibanding Suryo. Mungkin pertimbangan perasaan yang mendasari rasa penasaranku atas kasus Wulan. Sementara Suryo kuanggap terlalu 'logis" untuk di ajak urusan perasaan. Tumben juga Mel mendukung tanpa bantahan sedikitpun seperti biasanya. Ia malah mendorongku mencari tahu sejauh yang bisa kudapat informasi tentang Wulan ini. Cuma ya gitu, dia jadi ngintil aku kemana-mana karena ikut penasaran juga. Repot deh. Akhirnya setiap kita tak ada kelas, pasti kita nongkrong di UNGE. Sudah hampir tiga hari ini.  Dari cuma basa-basi urusan pergerakan sampai obrolan ngalor-ngidul tak jelas.

Dari obrolan serempetan inilah, memang aku tak mungkin juga terlalu blak-blakan tentang Wulan, ternyata semua informasi tentang dia diciduk mengarah pada satu nama yaitu, Bagas. Kutelusuri orang yang tahu, rata-rata dari sumber-sumber itu selalu berakhir di nama Bagas. Tak ada nama lain setelahnya. Kesimpulanku semua info berasal dari Bagas. Aku tak kenal Bagas, maka aku tanyakan ini pada Suryo suatu siang di sekertariat Mapala.

"Kau kenal Bagas UNGE? Suryo malah menatapku lama, sebelum dia mengajukan pertanyaan balik.

"Ada urusan apa kamu tanya tentang Bagas?"

"Kenapa rupanya Yo?"

"Jawab dulu pertanyaanku."

Aku tercenung menimbang, "Ada urusan saja sedikit," jawabku akhirnya. Tak diduga sama sekali reaksi Suryo begitu mengejutkanku.  Dia menghentakkan dadaku keras sampai aku terdorong beberapa langkah ke belakang.

"Hei apa-apaan sih, aku cuma tanya kau kenal Bagas atau tidak, kalau tidak kenal ya sudah, nggak gini juga caranya Yo!" Bentakku tak suka.

"Nama itu tidak boleh ada urusan sama kamu!" Hardik Suryo dengan sorot mata tajam.

"Kenapa?" Balasku menantang.

"Jawab pertanyaanku, ada urusan apa kau sama Bagas!"

"Apa semua harus jadi urusanmu!"

DARAH MuDA (1) EEPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang