Lagi Lagi (2)

123 20 3
                                    

Berhari-hari aku memikirkan cara lain mengajak Ega kencan makan malam tanpa datang ke kafe atau restoran lagi, tetapi buntu. Ide-ide di kepalaku tidak berkembang seperti biasa, bukan karena daya pikirku tumpul, tetapi kepentingan lain selalu berhasil menghentikan perkembangannya, aku tidak punya banyak waktu memikirkan ide-ide makan malam bersama Ega, kalah oleh kepentingan pekerjaan yang menuntut waktu lebih banyak, jauh melampaui jam kerja. Saat makan, istirahat bahkan waktu tidur, pekerjaan seperti hantu saja. Pikiranku seperti kehabisan baterai ketika aku coba memikirkan ide makan malam yang tenang dan menyenangkan untuk berbincang-bincang, di sela-sela waktu luang. Satu-satunya yang harus dikalahkan, mungkin pada jadwal membaca buku, tetapi meski itu hanya 1 jam setiap harinya, aku biasa membaginya dalam dua sesi: menjelang tidur dan ketika bangun tidur, tetapi sulit. Jadwal membacaku sudah terlanjur mendarah daging — selelah apa pun, aku tak akan bisa tidur jika belum membaca.

Malangnya … semakin tak menemukan ide, merindukan Ega diam-diam menggangguku. Dalam beberapa hal aku masih merasa takjub pada desakan kontradiktif ini, seolah jika aku tak menemukan ide, aku makin merasa cemas tak bisa berjumpa dengan Ega, jika cemas, aku lantas merindukannya. Setua ini masih merasakan hal melankolis seperti itu sungguh menggelikan. Rupa wajah dan sosoknya seolah lebih detil dibanding saat bertemu. Aku mengingat garis halus alisnya, tarikan garis senyumnya dan cerita-cerita tentangnya yang masih membuatku penasaran.

"Hati-hati jika merindukan seseorang, jika terlalu kuat itu akan menciptakan amplitudo, kemudian kekuatan lain akan mengirimkan getarannya pada yang bersangkutan."

Tiba-tiba aku mengingat peringatan Suryo tentang Rindu, aku tak tahu persis kapan dia mengatakannya yang jelas aku mengingatnya sekarang.

"Jika kau tak percaya, ingat-ingat saja berapa kali kau kontak batin ketika kau merindukan Ambu mu, lalu beberapa hari kemudian datang paket makanan ke kos dari Ambu, atau suratnya, atau teleponbya mungkin," katanya lagi.

Jika demikian bisa kah amplitudo ku saat ini menggerakan Ega melahirkan ide makan malam kami?

"Kau dan Ambu punya keterikatan ibu dan anak yang kuat, sudah mempunyai frekuensi sendiri sebagai penghubung," sayup-sayup aku mengingat obrolan aku dan Suryo tentang itu.

Artinya, aku dan Ega harus mempunyai frekuensi yang sama. Pertanyaannya, apakah Ega merindukan aku juga, agar sinyal amplitudoku bisa sampai padanya.

"Jika kau bisa melakukan pada Ambu mu, pada Tuhan bahkan kau melakukan usaha lebih keras lagi lewat doa-doa yang bersaing dengan doa-doa orang lain, dan ketika terkabul, itu artinya dengan latihan yang baik kau juga bisa melakukannya, padaku, atau pada siapa pun yang kamu kehendaki."

Waktu itu aku memganggap Suryo sedang memganologikan teori dimensi milik Einstein yang dikembangkan lagi oleh Tesla. "Apa ini ada hubungannya dengan kontak dimensi kelima yang dimaksud Tesla?"

"Sederhananya begitu."

"Kok kesannya kamu menyelaraskan teologi dan fisika. Katanya orang-orang cerdas tak pernah menemukan teologi dan sains, dan fisika bisa sejalan, selalu bersebrangan," kataku dengan nada ejekan.

"Lah, siapa tahu sebenarnya sains sedang mengejar teologi, seperti katamu, sains bisanya hanya membayangi dan menakut-nakuti teologi, tanpa punya terobosan lain?"

Aku ingat lirikan dan cibiran bibirnya waktu itu, bukan ejekan, tapi semacam pancingan untukku, tapi waktu itu aku mengabaikan ajakan debatnya. 

"Aku cuma sebal saja pada para pemikir liberal, sering kali menganggap remeh pemikir konvensional. Mereka terlalu banyak berpikir pakai otak, lupa batin juga bisa berpikir. Dua-duanya punya kekuatan hebat." Begitu aku menanggapinya kala itu.

Mengingat diskusi lama itu, malah membuat cemas saja, maksudku rindu, menjadi-jadi. Wajah, senyum dan matanya seperti di pelupuk mata — terlalu dekat untuk dilihat — aku harus menjauh.

DARAH MuDA (1) EEPWhere stories live. Discover now