17

1.1K 195 16
                                    

Perjuangan usai setelah menempuh begitu panjang waktu, pengorbanan, serta keteguhan yang berulang kali hadapi tantangan. Wajah-wajah lelah terbayar dengan guratan kelegaan. Tanggal ini, 22 Mei 1998 akhirnya kekuasaan yang bertahta 32 tahun lebih tumbang.  Banyak rentetan kejadian yang meneror sesudahnya. Kerusuhan, penjarahan, kekerasan terhadap ras tertentu, jatuhnya mata uang, olengnya perekonomian, PHK besar-besaran, serta tumbangnya sendi-sendi penggerak usaha penghidupan. Satu kesadaran menyatakan inilah kosekuensi yang pasti terjadi jika satu tatanan mati dan tatanan lain lahir. Bisa juga ulah tangan kotor yang berusaha bermain dikeruhnya air.

Sayang, media terlalu meninggikan peran aliansi-aliansi mahasiswa di Jakarta saja—mengabaikan betapa motor sesungguhnya ada di daerah-daerah yang serempak menggerakan arus perubahan—sama besarnya. Tak terhitung tokoh-tokoh seperti Suryo dan kawan-kawan—di hampir setiap daerah banting tulang berjuang mewujudkannya. Tanpa dukungan dari daerah, bisakah Jakarta punya trigger? Apa karena pusat kekuasaan ada di Jakarta, dan lalu jatuh juga disana? Sejarah abai mencatat ini.

Tapi perjuangan yang dimenangkan tetap membahagiakan. Dan tokoh-tokoh seperti Suryo dan kawan-kawan, kurasa juga seluruh aliansi, tetap merayakannya dan memilih tidak membahas lagi kerancuan ini. Pahlawan tetaplah pahlawan mau dapat pengakuan atau tidak. Buktinya mereka tetap bisa tertawa, kembali ke akar mereka, naik gunung lagi, main musik lagi, panjat dinding lagi, main basket lagi, belajar ogah-ogahan lagi ... Haha.

Oh ya aku lupa cerita kalau Mel sudah berhasil pulih. Meskipun ia harus bolak-balik ke rumah sakit untuk kontrol kondisinya. Mengingat tak hanya punggung, bahkan tulang betis kanannya juga retak. 

Ada kejadian saat di rumah sakit waktu itu. Waktu Mel baru kedatangan  keluarganya. Seperti yang kau tahu, begitu keluarganya masuk, kami bertiga akhirnya keluar. Di depan pintu kamar kami berembuk dan memutuskan pulang untuk beristirahat. Lagipula Mel sudah ada keluarganya. Meskipun begitu, kami berencana akan mengunjunginya setiap hari.

Kau tahu, baru saja melangkah keluar pintu ruangan, suara bergetar menghentikan kami. Suara seseorang dengan nada seperti tercekat.

"Siapa diantara kalian pemimimpinnya?"

Spontan kami balik badan, "Maksud Bapak?" tanyaku waktu itu. Orang yang bertanya itu, memang Bapak Bapak. Usianya kuperkirakan tak beda jauh dengan Abahku. Bisa jadi memang ayah Mel. Begitu pikirku.

"Siapa dari kalian pemimpin tukang demo-demo itu?" Perasaanku mulai tak enak.

"Saya pak," jawab Suryo cepat. Dia selalu begitu, bahkan saat aku masih bergelut dengan perasaan menebak-nebak. Reaksi dia bisa sangat cepat.

"Mendekat kesini!" perintah bapak ini tegas walau tak keras. Suaranya masih bergetar. Suryo melangkah mendekat.

"Jadi kamu biang keladi sampai anakku masuk sini?"

Aku maju, "Saya yang salah pak, saya yang bertanggungjawab atas keselamatan teman-teman. Sayalah koordinator di lapangan Pak." Suryo langsung menghardik aku lewat isyarat tangan dan tatapan tajamnya lalu memintaku mundur.

"Kalau yang bapak maksud pemimpin tertinggi, saya orangnya. Orang yang paling bertanggung-jawab atas seluruh aksi mahasiswa, bukan siapa siapa," tegas Suryo sopan, tapi kukuh tetap ambil alih tanggungjawab.

"Kamu berarti yang racuni anak saya ikut kegiatan tak jelas ini, iya?"

Suryo mengangguk. Hey, tak ada yang meracuni otak teman-teman! Semua karena kesadaran, karena nuraninya sendiri yang terpanggil. Tak ada paksaan dalam aksi kami. Protesku dalam hati. Tapi sepertinya Suryo tak ingin berpanjang-panjang, dia ingin ambil alih tanggungjawab secepatnya. Dia sudah siap terima konsekuensi. Itu yang terbaca olehku.

DARAH MuDA (1) EEPWhere stories live. Discover now