19

1.1K 201 29
                                    

Aku seperti kehilangan keberanian masuk ruang Mapala esoknya. Terus-terang tidak siap bertemu Mel. Kamu boleh bilang, bawa santai saja, seolah tidak terjadi apa-apa. Lagi pula tidak ada komitmen apa-apa antara aku dan Mel kan? Men ... kejadian sore kemarin apa-apa itu woy. Setidaknya aku melihat dan merasa ... Sudahlah sulit menjelaskan. Aku bukan orang yang pandai merangkai kata-kata, yang jelas aku merasakan, Mel juga merasakan, titik.

Setelah seluruh kuliah hari ini selesai jam dua siang. Aku masih belum bisa masuk ruang Mapala. Memang belum tentu juga Mel ada di sana. Tapi resiko mana berani kutanggung jika aku memang tidak siap sama-sekali. Cemen betul, kesal juga sama diri sendiri kalau sudah begini. Seharusnya aku pulang kos saja, tapi di kos juga mau apa? Rebahan dan mengulang pening yang berputar-putar? Bukan ide bagus sama sekali.

Suasana hati yang sama sekali tidak asyik begini, menyeretku ke ruang Seni. Membawa gelas berisi kopi. Kupikir sedikit memainkan gitar akan membawa suasana hati bisa lebih baik. Ya sudah, kulangkahkan kaki kesana. Semoga sepi. Kalaupun tidak, menonton sambil ngopi pun tak apa.

Tapi kejutanlah yang kudapat begitu masuk. Tak ada siapa siapa selain Mel di sana! Dia termangu di depan tuts piano tanpa menyentuhnya, lalu menatapku yang menatapnya juga. Aku limbung. Ragaku ingin balik arah ke luar lagi, tapi tidak bisa. Kakiku seperti terbenam di lantai. Aku tak punya pilihan lain selain melangkah masuk. Tak ada pilihan.

"Mel ... ."

"Ep ...  ."

Sapaan kami se-kaku bahasa tubuh yang sama-sama kami perjuangkan agar kelihatan baik-baik saja. Atau setidaknya tampak biasa-biasa saja. Padahal tidak.

"Mau ngopi bareng?" Pertanyaan model apa ini. Ppffft.
Eh tapi dia mengangguk. Oke, mungkin ini awal yang tidak buruk-buruk amat. Aku mendekat ke arah dia. Lalu meletakkan gelas kopi di atas piano.

"Eh anak seni kalau tahu marah lho naruh gelas di situ," katanya sambil menaikan alisnya.

"Kan nggak ada mereka," jawabku sedikit bergetar tapi segera kututupi dengan dua kali berdehem.

"Setidaknya alasi pake bukumu lah, nanti ngecap gelasnya."

"Oke."

Buru-buru kuraih buku dari tas. Kuangkat gelap, melapnya pakai telapak dan meletakan buku sebagai alas gelas. "Selesai. Terus apa lagi?"

Dia terkekeh. Saat itu juga perasaanku mencair. Aku rasa Mel juga begitu. Aku raih kursi bundar disitu, dan duduk sejajar dengan posisi duduknya.

"Maafin aku ya," kataku kelepasan.

"Maaf untuk?"

Aku jadi grogi ditanya begitu. "Pokoknya minta maaf saja," kataku.

"Tentang kemarin sore ya," katanya mengerling sambil senyum-senyum penuh arti. Mel seperti sengaja menggoda deh. Aku langsung gelagapan.

"Yee, nggak usah digamblangin gitu juga sih."

"Kenapa harus minta maaf, kan hak kamu juga. Emang aku siapanya kamu, kok sampai minta maaf."

"Ah nggak tahu ah," kataku cepat-cepat. Rasanya aku ingin skip bagian ini. Saking gugup aku garuk kepalaku yang tak gatal sama sekali.

Dia terkekeh lagi sebelum menjawab, "Itu kan pacar kamu, masak aku mau larang," katanya tanpa ampun sama sekali. Ish.

"Dia sore itu ngabarin kalau dia sudah mau wisuda, terus ngobrol sedikit terus minta diantar pulang,"

"Oh."

Tapi 'oh' dia enggak asyik banget Men. Kayak sengaja memainkan nadanya. Aku salah tingkah lagi jadinya. Jarinya kemudian menekan tuts pelan memainkan notasi minor. Entah lagu apa yang sedang dimainkannya. Aku diam dan menyimak saja. Uhm, nadanya sepertinya kukenal, tapi sampai delapan bar Mel main, aku tidak juga mengingatnya.

DARAH MuDA (1) EEPWhere stories live. Discover now