7

1.7K 250 33
                                    

Aku dan Suryo serentak bediri.
"Dimana dia?"
"Pinggir jalan depan kampus, cepetan!" Daus langsung lari disusul aku dan Suryo, menuju tempat yang dimaksud.
Sesampai disana, aku melihat Steven dan Ratna sedang bicara dengan seseorang yang berdiri di sebuah mobil  mewah warna hitam mengkilat berlambang bintang mercy.
"... Saya bukan bagian urusan beginian, tak berani terima . Nah ini ketua kami Suryo, silakan bapak bicara dengan dia."  Potongan pembicaraan ini yang kami dengar ketika aku dan Suryo mendekat.
"Selamat siang anak muda," sapa Bapak itu mengulurkan tangan pada kami berdua. Kami menyambut dengan penuh tanda tanya. "Maafkan saya sudah membuat nak Ratna dan nak Steven curiga karena mengikuti mereka sampai sini. Hmm, apa tak sebaiknya kita bicara di suatu tempat yang lebih nyaman ketimbang kita berdiri di pinggir jalan seperti ini?"

Aku beradu mata dengan Suryo, begitu kulihat isyaratnya setuju, aku langsung menujuk GOR disebelah gedung kampus, kemudian memandu mereka berjalan ke dalam gedung olah raga dan langsung menuju tribun penonton. Jam segini memang tak banyak orang di sini, baru nanti sore, biasanya banyak mahasiswa berlatih olah raga. Sekarang hanya ada anak unit seni saja sedang berlatih theater.

"Ini gimana ceritanya sih Na? tanyaku ketika  kami duduk.

"Mobil Bapak ini membuntuti kita terus sejak aku sama Steven selesai jilid makalah tugas, di fotokopi-an Gejayan. Aku makan di dekat bundaran UGM pun mereka masih ada, sampai kita balik kampus mereka masih juga ikuti terus. Terakhir mereka klakson-klakson waktu kita balik kampus, minta kami berhenti, selebihnya biar Bapak sampaikan langsung saja," jawab Ratna seraya melempar pandangan pada Bapak itu.

Dari penampilannya kutaksir umurnya lima puluhan. Cukup gagah dengan polo shirt dan celana jeans yang dikenakannya. Tak lama, datang seorang laki-laki lain menuju ke arah kita dengan menjinjing tas kresek warna hitam.

"Bukanya dia ... sebentar kuingat, iya tak salah lagi, bukannya dia yang waktu itu foto-foto kita di depan Empire, betul?" seru Steven merujuk pada lelaki pembawa tas kresek, yang baru saja duduk di sebelah bapak itu. Aku meng-iya-kan.

"Dia ini Bayu, asisten saya," sahutnya.

"Maaf, bapak sendiri siapa?" tanya Suryo dengan sisa memar di wajah. Meskipun sudah tak bengkak seperti sebelumnya.

"Saya Baskoro," jawab bapak gagah itu.

"Langsung saja pak, sampaikan maksud bapak mengikuti rekan-rekan saya itu untuk apa?" kata Suryo lugas.

"Begini, saya dapat laporan dari Bayu, tentang semangat demo kalian tempo hari, menggugah saya untuk ikut membantu  perjuangan gerakan kalian. "

Suryo tiba-tiba mendengus.

"Jangan tersinggung dulu nak Suryo, ini niat tulus dari saya, tolong diterima," ujarnya sambil mengambil kantong kresek dari tangan bayu, meletakakannya di bangku lalu mendorongnya ke arah Suryo.

Suryo membuka kantong kresek itu dan ternyata isinya uang kertas banyak sekali. Bergepok-gepok. Dadaku mendadak berdebar. Aku belum pernah melihat uang sebanyak itu sepanjang hidupku. Suryo tertegun memandangi tumpukannya, sementara Steven berguman tak jelas hanya, "ya Tuhan itu uang kah atau mainan," itu saja yang terdengar. Suryo melipat kantong kresek hitam itu, lalu menggesernya kembali ke arah pak Baskoro.

"Ini uang banyak sekali. Kita tidak pernah saling mengenal sebelumnya. Saya tak nyaman pak Baskoro, tapi terimakasih atas dukungannya, tapi maaf, kami tak bisa terima ini,"

Kata-kata Suryo membuat kami tercengang. Dia tahu uang itu akan sangat membantu untuk perjuangan kita. Kita sering stres mencari donatur selain bantingan dari anggota. Uang segitu bisa atasi pusingnya biaya membuat spanduk, flayer, konsumsi, obat-obatan. Tapi ... betul juga, itu jumlahnya terlalu banyak.

DARAH MuDA (1) EEPWhere stories live. Discover now