Kamu Di Mana Mana (2)

92 20 12
                                    

Celakanya, aku terlalu asyik mengobrol dengan Iboy dan temannya di kantin karyawan, sampai lupa waktu, lupa kalau jam setengah lima aku harus kembali ke Graha untuk menemui Ega.

Cerita Iboy seru untuk ditanggap. Aku bukan penggosip, tapi Iboy itu ibarat sebutir debu, ia bisa ada di mana-mana tanpa orang mempedulikan atau mengkhawatirkan kehadirannya, darinya aku kadang mendapatkan info penting bagaimana seupil kejahatan disembunyikan. Iboy membantuku mengenali orang-orang yang bekerja di gedung ini, siapa-siapa yang menjadi broker proyek, calo kasus, atau apa pun namanya dari sebuah rencana terselubung. Infonya akan menambah daftar catatanku apakah kebijakan Pak Menteri dijalankan atau dijegal —siapa-siapa saja orang yang berbahaya atau sebaliknya, siapa-siapa yang sungguh-sungguh bekerja dengan kejujuran.

Iboy tentu tak paham intrik politik semacam itu, kepolosannya dan kebiasaannya nyablak justru kadang membuka informasi penting — beberapa kasus mark up bisa dicegah Pak Menteri gara-gara ocehan atau kelakar Iboy. Aku mengendusnya dan menelusurinya secara diam-diam, setelah memperoleh bukti, baru kulaporkan pada Pak Menteri dan beliau akan mengambil tindakan tanpa mengorbankan siapa pun. 

Padahal, aku hanya selisih waktu sepuluh menit, pergi ke Graha dengan tergesa-gesa, dan mendapati Ega sudah pergi. Pukul lima lebih sepuluh menit ketika aku tiba, itu pun sudah dengan berlari dan ternyata Ega sudah tidak ada. Aku tanya bu Retno di sayap mana Ega memarkir mobilnya, bu Retno tidak tahu, malah tanya macam-macam yang sifatnya mencurigai: apakah rangkaian bunganya kurang bagus, kurang estetik segala macam, tetapi dari bu Retno aku jadi mengetahui jika Ega adalah rekanan kami selama ini, Ega lah yang merangkai buket bunga dan riasan bunga lainnya. Ega adalah pemilik toko bunga sekaligus perangkai bunga yang handal dan cukup punya nama, katanya.

Dua hari aku menahan diri tidak bereaksi apa-apa. Aku sudah mengetahui alamat toko bunganya dan bisa saja aku pura-pura berkunjung untuk memesan rangkaian bunga yang nantinya dikirim ke alamat palsu, atau kalau perlu aku memberi Iboy kejutan dengan papan bunga berbunyi: Assalamualaikum, selamat pagi, Bapak Iboy, mau nasi uduk? Tetapi aku belum mau terburu-buru melakukanya, bukankah aku sudah memberi Ega kartu namaku, jadi, aku akan menunggu dia menghubungiku untuk tahu apakah dia, maksudku, apakah aku cukup berkesan baginya hingga mau menghubungiku.

Aku cukup menyesal tidak cekatan untuk meminta nomornya juga, boleh jadi Ega gengsi untuk memghubungiku lebih dulu — cewek cantik biasanya begitu — merasa dirinya cantik, maka harus jual mahal. Cantik dibeberapa strata kepentingan sudah dianggap punya nilai lebih tinggi dari perempuan yang tidak cantik, semacam hak istimewa untuk jual mahal, merasa dibutuhkan dan punya gengsi dan menolak kesetaraan — kesetaraan dalam hal menghubungi lebih dulu, misalnya. Jika demikian yang terjadi, sepatutnya aku pesimis dan mulai menerima jika harapan dia akan menghubungiku pupus dan aku harus secepatnya kembali merasa biasa-biasa saja, menjalani hari seperti biasa.l

Atas dasar konsensus pribadi tersebut, aku menuntaskan kerja hari ini kembali terasa biasa-biasa saja: memandang hampa pada kemacetan, menonton wajah-wajah loyo orang-orang yang berkendara, wajah risau lelaki dan perempuan dibalik kemudi mobil dengam cat mengkilat, menebak-nebak berapa banyak cicilan yang ditanggung mereka dibalik pundak yang lesu, mata yang sayu dan rambut yang tak lagi rapi. Aku menikmati rasa kasihan pada mereka, senikmat mengasihi diriku sendiri. 

Selebihnya … aku bersama malam dan langit di teras belakang dan secangkir kopi adalah malam yang sama seperti sebelumnya dengan lengkingan lagu Night Bird milik Shakatak yang mengalun sayup-sayup dari vinil di ruang keluarga, ritual khas aku setelah rasa segar dari air hangat yang mengguyur tubuh, ritual yang lumayan meringankan kepenatan. Namun panggilan telepon menghentikan kesendirianku di dunia. 

"Ada apa dengan anak bunga itu, Ep?" kata Enal dengan suara latar belakang yang ramai. "Apa dia buat kesalahan?"

"Kenapa kau tanya aku?" kataku sebelum kemudian mengerti apa yang dia bicarakan.

DARAH MuDA (1) EEPWhere stories live. Discover now