Bagian 29

5 0 0
                                    

Di hari-hari berikutnya, saat Philippe bekerja di bar.

Dia tidak dapat memungkiri, ucapan Pedro tempo hari terus mengusik hatinya. Begitu juga nasehat Ayah dan Ibunya tentang semua jerih payah ini, hingga dia lebih banyak termenung saat sedang belajar di sela waktu kerjanya.

"Kau sedang memikirkan sesuatu?" tanya Tuan Montoya berdiri di sampingnya, sembari mengusap kain lap membersihkan meja bartender yang dirasa masih kotor.

"Ah, tidak Tuan." Philippe mengelak tersadar dari lamunan itu dan kembali fokus membaca buku. Namun juga termenung lagi, masih bimbang ingin memantapkan hati dengan apa yang harus dia lakukan. Dia pun menatap Tuan Montoya dan bertanya, "Bagaimana jika saya berhenti bekerja, Tuan?"

"Mengapa? Kau sudah menyerah dengan semua impianmu itu?" balas Tuan Montoya heran, membuatnya kembali terdiam menjadi bimbang lagi untuk menyerah.

Tuan Montoya menggeser kursi lain untuk duduk di sampingnya. "Aku di sini, jika kau ingin berbincang."

Philippe tersenyum membalas, "Anda pasti tidak akan paham, Tuan."

"Coba saja. Kau pikir, aku tidak pernah seusiamu?" balas Tuan Montoya tersenyum yakin. "Saat muda, aku juga mendekati banyak gadis selain istriku sekarang. Sudah pasti aku pernah mencintai gadis cantik seperti gadis idamanmu itu," lanjutnya membuat Philippe makin tersenyum mendengar semua itu.

"Bagaimana anda bisa tahu itu, Tuan?" balasnya juga heran.

"Anak muda seusiamu memaksa bekerja keras hanya untuk mobil mewah? Untuk apa, jika bukan karena seorang gadis?" jawab Tuan Montoya tersenyum.

Philippe pun bercerita tentang Carolyne, kehidupan mereka yang berbeda, segala permasalahan yang terjadi, hingga perubahan sikap sahabatnya. Dia juga tidak ingin orang tuanya bersedih karena sikap keras kepalanya ini.

Sesungguhnya Tuan Montoya berharap, dia tidak putus asa hingga usaha selama ini tidak sia-sia belaka. Namun, Tuan Montoya pun menghargai keputusan itu. Usai kerja pukul 03.00 dini hari, Tuan Montoya menyerahkan amplop gaji sisa jam kerjanya. "Ini, gaji terakhirmu."

"Terima kasih, Tuan. Saya permisi dulu," jawab Philippe tersenyum, meski raut wajah itu juga nampak menyesal.

"Ya, berhati-hatilah di jalan. Salam untuk Ayahmu," balas Tuan Montoya, kemudian memadamkan lampu bar saat Philippe sudah mengayuh sepedanya pulang.

***

Pagi hari saat berangkat sekolah, dia segera mengejar Pedro yang sudah berjalan menuju tempat pemberhentian bus sekolah. "Hai, Pedro."

"Ada apa?" balas Pedro masih terkesan malas menanggapi.

"Aku ingin minta maaf," katanya meyakinkan.

"Untuk apa?" balas Pedro masih dengan gelagat yang sama.

"Semuanya. Sikapku selama ini," balas Philippe menyesal.

Pedro terdiam sejenak meliriknya, kemudian berpaling berkata, "Aku tidak marah. Itu hakmu jika kau ingin terus seperti itu."

"Tidak. Aku sudah tidak memikirkannya lagi," balasnya dengan yakin.

"Sungguh?" Pedro masih ragu untuk percaya.

"Ya, aku sudah melupakannya," balas Philippe tersenyum, dan Pedro terdiam heran menatapnya.

"Ayolah... Kau tidak ingin kita seperti dulu lagi?" Philippe tersenyum berharap dan terus meyakinkan, sembari merangkulnya saat bus sekolah juga telah datang.

Pedro pun tersenyum senang, masuk ke dalam bus dan duduk bersama sembari bercanda, "Akhirnya, otakmu sudah pulih kembali."

Mereka terus berbincang seperti biasa hingga tiba di sekolah, dan mengikuti kelas masing-masing.

Saat tiba jam istirahat, dia bertemu kembali dengan Pedro yang sudah berjalan bersama Wang dan Marcelo di koridor sekolah. Pedro masih ragu bertanya, "Kau akan makan siang sekarang?"

"Ya, tentu saja. Kita makan siang sekarang," jawab Philippe yakin berjalan lebih cepat menuju kafetaria. Wang pun tersenyum girang merangkulnya, "Itu bagus. Kita makan siang bersama lagi."

"Ya, aku juga tetap mendukungmu, asal kau tidak terlalu memusingkan mobil sport dan rumah mewah," timpal Pedro mulai bercanda santai seperti dulu, sementara Marcelo hanya tersenyum lega melihat kebersamaan mereka lagi.

Mereka terus bersenda gurau di kafetaria, di antara suasana sesak siswa-siswi berlalu-lalang, dan tiap-tiap meja makan yang penuh dengan segala perbincangan. Philippe pun tersenyum merindukan suasana ini.

Tanpa dia sadari, Carolyne yang duduk bersama geng primadona di meja ujung sana, tertegun sejenak melihat kehadirannya. Kemudian tersenyum lega melihatnya seperti sedia kala, sekilas juga teringat cerita sang Ayah tentang pemuda itu.

Namun, berkali-kali Carolyne mencuri pandang ke meja itu, dia tidak pernah melihat Philippe menatap ke arahnya seperti dulu. Merasa aneh akan gelagatnya yang terus berbincang santai di sana, apakah pemuda itu sudah melupakannya?

* BERSAMBUNG *

This Garden, Little Heaven 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang