Bagian 10

1 0 0
                                    

Waktu terus berlalu, hingga tiga bulan kemudian.

Hari Jum'at, selesai bekerja lewat pukul 09.00 malam. Philippe mengayuh sepedanya pulang melewati toko bunga yang sama, yang juga sudah tutup malam ini. Tiba-tiba, dia kembali terpikirkan Carolyne. Dan, lagi-lagi tentang bagaimana mencoloknya perbedaan kehidupan mereka.

Sorot matanya menerawang menembus kaca jendela toko itu. Bunga-bunga yang tertata rapi di dalam sana, nampak seperti siluet dalam remang gelap ruang toko, seakan menggambarkan suasana hatinya kala memikirkan Carolyne dan Sebastian. Keindahan itu tidak akan pernah menjadi cerah saat menyadari tabungannya tidak akan pernah cukup. Dia butuh uang lebih untuk meraih impiannya.

Semua itu membuatnya tidak berniat langsung pulang. Kini, dia mengayuh sepedanya ke arah barat hingga memasuki kawasan Primero, dan berhenti di depan bangunan sederhana, dinding bercat merah gelap, bertuliskan Montoya's Bar. Bar itu milik kawan lama Ayahnya.

"Halo, Tuan Montoya," sapa Philippe menghampiri meja bartender, duduk di salah satu kursi kayu bulat dihadapannya.

"Ah, Philippe. Apa kabar?" balas Tuan Montoya dari balik meja bartender, masih sibuk membersihkan meja itu dengan kain lap, menghilangkan bercak embun es berbentuk bulat dari bekas letakan gelas pengunjung yang telah usai.

Tuan Montoya menatap ke arah pintu bar, menunggu kehadiran Tuan Carlos. Namun perkiraannya salah, hingga dia bertanya heran, "Kau datang sendiri?"

"Ya," jawab Philippe singkat dengan santai.

"Kau tidak ingin bermabuk-mabukan, bukan?" tanya Tuan Montoya, curiga melihat Philippe yang tiba-tiba datang ke bar malam ini.

"Tidak. Aku sedang mencari kerja," jawab Philippe langsung saja mengutarakan niatnya, tetap terkesan hanya berbasa-basi untuk berbincang.

"Kerja?" tanya Tuan Montoya masih heran.

"Ya. Aku butuh uang untuk biaya kuliahku nanti," jawab Philippe tersenyum.

"Kau akan melanjutkan sekolahmu?" tanya Tuan Montoya ikut tersenyum senang, dan kembali bertanya, "Mengapa kau tidak ikut bekerja Ayahmu?"

"Menjadi seorang nelayan?" balas Philippe mengerutkan kening. "Aku mengharapkan lebih dari itu. Aku ingin hidup bahagia, banyak uang, rumah mewah dan kolam renang di halaman belakang," lanjutnya tanpa sadar mengutarakannya dengan gaya menggebu-gebu.

"Oh, ya. Dan mobil sport," katanya lagi, terlupa akan barang mewah itu, sembari menunjuk ke arah Tuan Montoya untuk lebih meyakinkan.

Tuan Montoya paham, tersenyum menatapnya, dan menatap ke ruangan bar untuk berpikir sejenak, kemudian berkata, "Kau bisa bekerja di sini, jika kau mau."

"Sungguh?" balas Philippe terkejut girang, meski juga berharap akan mendengar itu dari Tuan Montoya.

"Ya. Tapi kau paham tentang bar, bukan?" balas Tuan Montoya, kemudian menjelaskan, "Kau harus bekerja hingga larut malam dan berhadapan dengan para pemabuk."

Philippe paham, sejenak mengamati sekeliling ruangan bar yang terkesan suram dengan nyala lampu remang. Dia perhatikan para pengunjung satu per satu, yang mana beberapa orang nampak mabuk berat di ujung sana. Dia kembali menatap Tuan Montoya, berkata yakin, "Aku akan melakukannya."

"Baik, kau bisa mulai bekerja besok malam. Akan aku beri tahu Ayahmu," balas Tuan Montoya tanpa berbasa-basi lagi. Cukup membuat Philippe terkejut dan segera menjawab seperti mengelak, "Ah, tidak perlu. Akan aku sampaikan sendiri."

"Oke..," balas Tuan Montoya dengan nada berat dan tatapan curiga.

"Maaf, Tuan. Kapan waktunya aku bekerja?" tanya Philippe, kemudian dijawab Tuan Montoya, "Bar mulai buka pukul 7 malam, hingga pukul 3 dini hari."

This Garden, Little Heaven 1Where stories live. Discover now