Bagian 4

6 0 0
                                    

Esok harinya, suasana kefetaria kembali sedikit berbeda. Kini Sebastian memilih makan siang lebih cepat, tanpa ada kawan-kawan satu geng-nya. Dia bergabung bersama geng para primadona, dan duduk di samping Carolyne.

Sikap Sebastian ini cukup membuat Carolyne cemas, tidak enak hati terhadap Florita yang tetap duduk satu meja dengan mereka. Karena gadis itu menjadi lebih banyak diam, meski terkesan tidak memedulikan keberadaan Sebastian. Di saat-saat Sebastian mengajak berbincang Carolyne, dia sering kali menjadi canggung, menjawab singkat sembari takut melirik Florita.

Di kejauhan, Philippe yang menyantap makan siang, sesekali juga melirik meja makan para gadis itu. Meski masih terlihat wajar, namun posisi Sebastian di samping Carolyne juga membuat Pedro paham, kini sang primadona di meja itu bukan lagi Florita, tapi siswi baru itu.

"Sepertinya sainganmu berat," kata Pedro tiba-tiba, sembari mengunyah makan siangnya dengan lahap. Philippe tersadar menoleh menatap Pedro sejenak, menatap meja makan Carolyne lagi, dan lanjut menyantap makan siangnya.

"Lihatlah. Dia hanya butuh waktu 5 detik untuk bisa membuat gadis mana pun terpikat," lanjutnya tidak tahan untuk membahasnya. "Dan kau? Kau butuh waktu seumur hidupmu."

Philippe yang sedari tadi hanya diam, kini terheran-heran menatap Pedro. Raut wajahnya seakan berkata, Aku tidak berkata apa-apa, juga tidak bertanya. Mengapa kau tiba-tiba berkata seperti itu?

Namun, tatapan diamnya ditangkap lain oleh Pedro yang berlagak, "Sebaiknya kau benahi otakmu itu, sebelum kau benar-benar menjadi gila."

"Bagaimana jika aku bisa mendapatkannya?" balas Philippe sesungguhnya hanya bercanda. Namun, Pedro terkejut, menganggapnya serius, "Kau sungguh sudah gila?"

"Kita lihat saja," balas Philippe tersenyum yakin.

Pedro makin merasa heran, membalas, "Ya, aku bisa melihatnya dengan jelas. Bagaimana denganmu? Kau butuh kacamata untuk melihat itu? Baru dua hari, mereka sudah seperti sepasang kekasih."

Kini Philippe terdiam meliriknya sinis dan berhenti membahasnya. Namun sikap Pedro makin menjadi-jadi, menganggap Philippe tengah bersedih. Dia bersandiwara merangkul pundak Philippe. "Aku turut berduka cita."

"Maafkan aku. Aku sungguh menyesal," lanjutnya menyandarkan kepala di pundak Philippe, berlagak sedang menangis pilu. Sikap Pedro itu membuat Marcelo merasa aneh, "Pedro, obat gila-mu habis?"

"Bukan aku. Tapi dia," balas Pedro sembari menunjuk Philippe dengan yakin.

"Kenapa?" tanya Marcelo tidak paham, segera disanggah Philippe tidak ingin membahasnya, berlagak menyindir Pedro. "Tidak ada apa-apa. Dia memang gila."

Namun, Pedro tetap lanjut membahasnya, "Lihatlah Sebastian di sana. Dia duduk di samping siapa?"

Marcelo pun segera paham menebak, "Carolyne? Aku pikir Sebastian mendekati Florita lagi,"

"Ya, sepertinya Florita juga sudah move-on," kata Wang ikut menimpali, lebih fokus menatap Florita yang tetap duduk bersama mereka. Kemudian dia bertanya kepada Philippe, "Kau juga masih memikirkan Carolyne?"

"Apa? Kau serius?" timpal Marcelo makin penasaran.

"Apa? Tidak," balas Philippe menjadi salah tingkah, dan terus saja mengelak, "Kapan aku pernah berkata seperti itu?"

"Tatapanmu yang berkata seperti itu," kata Pedro tersenyum yakin, makin puas menyindirnya.

"Kalian ini terlalu berlebihan," balas Philippe makin kesal menatap Pedro.

"Tapi dia memang sangat cantik. Aku saja bisa terus menatapnya sepertimu," kata Wang kembali fokus menatap Carolyne di sana. "Kau ingin aku mengeluarkan panahku dan menembak ke arah sana?" lanjutnya, berlagak seperti Dewa Cupid sedang membidikan anak panah ke arah Carolyne. Marcelo dan Pedro pun tertawa-tawa, hingga Philippe merasa tersudut oleh candaan mereka bertiga. Lekas-lekas dia habiskan santapannya, dan bergegas keluar kafetaria, tetap bersama mereka bertiga yang masih tertawa-tawa menggoda.

"Dia bagai bidadari yang turun ke bumi," kata Pedro dengan suara mendayu-dayu merdu, dan menggerakkan kedua tangan seperti burung sedang terbang. Kemudian membelai wajah Philippe, sembari berkata, "Bidadari yang cantik. Dan kau sangat mengharapkan hatinya,"

"Hei, aku akan datang untuk cintamu itu," kata Wang menimpali, tetap berlagak sebagai Dewa Cupid, juga sedang terbang bersama Pedro.

"Kalian ini bicara apa?" kata Philippe makin kesal, terus berjalan di lorong sekolah bersama mereka yang terus menggodanya dengan candaan receh itu. Marcelo bersikap lebih dewasa dengan merangkul Philippe, meski juga menahan tawa.

Entah mengapa, lelucon yang dilontarkan ketiga kawannya tentang Carolyne ini cukup mengganggu Philippe. Dia menjadi lebih sering kali terpikirkan Carolyne dengan cara yang tidak menyenangkan, karena selalu terselimuti bayangan sosok Sebastian di sana. Ya, pemuda tampan dan kaya itu, sekejap membuat dirinya merasa seperti butiran debu.

***

Tiba hari Jum'at malam.

Pikiran itu masih terbawa saat dia makan malam bersama keluarga, mengitari meja makan seperti biasa, yang selalu diawali Tuan Carlos memimpin berdoa bersama.

Philippe banyak termenung dengan perlahan melahap santapannya. Tuan Carlos pun merasa aneh, menyadari sikap tidak semangat putranya ini, hingga dia mengajak berbincang.

"Bagaimana sekolahmu, Junior?" tanya Tuan Carlos, terbiasa dengan panggilan akrab Junior sejak Philippe masih kecil.

"Biasa saja," jawabnya singkat, tersadar dari lamunannya tentang Carolyne.

"Tidak ada sesuatu yang baru?" tanya Tuan Carlos lagi, segera dijawab Philippe tanpa berpikir, "Tidak. Masih sama seperti tahun lalu."

Tuan Carlos pun mengalihkan perbincangan, "Besok kau ada kegiatan?"

"Tidak," jawab Philippe.

"Bagaimana jika kau ikut Ayah melaut?" tanya Tuan Carlos tersenyum berharap.

"Baik, Ayah," jawab Philippe sesungguhnya malas melakukan itu. Namun, dia tidak mampu menolak karena ajakan itu dia anggap sebagai perintah.

Usai makan malam, dia membasuh wajah, kedua tangan dan kakinya dalam kamar mandi. Kemudian kembali ke ruang tamu, duduk bersantai di sofa menyaksikan siaran televisi. Sementara Ibunya masih sibuk mencuci piring kotor di dapur, sedangkan sang Ayah tengah menina-bobokan Jenas dan Cherris dalam kamar.

Sesaat kemudian, Ibunya menuju kamar sejenak dan keluar membawa lipatan selimut untuknya, berkata, "Tidurlah. Kau butuh istirahat untuk besok pagi."

"Ya, sebentar lagi," balas Philippe menerima lipatan selimut itu.

"Ibu tidur dulu. Selamat malam." Nyonya Carlos mengecup kening putranya itu, yang tetap menatap layar televisi, membalas, "Selamat malam, Bu."

Sesungguhnya dia masih ingin menyaksikan tayangan film di televisi. Namun, dia terpaksa tidur lebih cepat karena harus berangkat pagi untuk melaut. Dia bentangkan lipatan selimut untuk menutup sebagian tubuhnya rebahan di sofa, dan memejamkan mata hingga terlelap.

***

Esok harinya, dia bangun di pagi-pagi buta saat langit masih gelap. Dia harus menepis rasa kantuk dan malasnya, bergegas mempersiapkan diri, dan ikut sarapan bersama Ayahnya, yang selalu bersemangat mengucapkan salam. "Selamat pagi, Junior. Makanlah yang banyak."

Dia hanya mengangguk dan melahap sarapannya dengan cepat. Setelah itu, mereka pun bergegas mempersiapkan perbekalan melaut, sembari Tuan Carlos berpamitan kepada sang istri, "Kami pergi dulu."

"Ya, berhati-hatilah," jawab Nyonya Carlos, tetap berdiri di depan rumah mereka. Selalu saja merasa cemas, saat suami dan putranya akan pergi mencari nafkah di lautan luas.

Tuan Carlos duduk di sisi belakang perahu, memutar pedal gas hingga baling-baling berputar kencang dan menerjang lautan untuk memulai aktifitas hari ini. Philippe duduk di sisi depan, terdiam menikmati tiupan angin menerpa tubuhnya.

Mereka terus bekerja keras, saat matahari mulai menampakan sinarnya di ufuk timur, dan perlahan semakin tinggi seiring berjalannya waktu hingga menjelang siang.

Philippe menengadah menatap sinar matahari kini berada di atas kepala. Teriknya terasa sangat menyengat di lautan lepas, seakan tiupan angin tidak cukup menyejukkan. Dia menenggak botol air mineral untuk menyegarkan kerongkongan yang terasa kering.

This Garden, Little Heaven 1Where stories live. Discover now