Bagian 18

3 0 0
                                    

Tiba akhir pekan.

Sabtu malam ini, Sebastian makan malam bersama Carolyne, dan tiba di rumah lewat pukul 10.00 malam. Dia melalui ruang keluarga menuju lantai dua seperti biasa, sembari berpikir sepintas, Ibunya pasti sudah tidur dalam kamar saat dia menyadari televisi tidak menyala. Lampu ruang itu pun padam hingga terasa remang. Saat baru menapak di anak tangga pertama, langkahnya terhenti oleh suara berat seorang pria duduk di sofa ruang keluarga itu. "Kau baru pulang?"

Sebastian terkejut menatapnya, dan segera berpaling berkata singkat, "Ya."

"Dari mana saja kau?" tanya pria itu, yang bertubuh tegap dan berkumis, dengan sorot mata dingin dan tajam menatapnya dalam gelap.

"Itu urusanku," balas Sebastian sinis terus berlalu. Langkah kakinya terhenti lagi, saat pria itu berkata tegas membentak, "Berhenti! Kemari kau!"

Sebastian menghela napas kesal, terpaksa mendekat dan bertanya, "Apa?"

Pria itu segera berdiri di hadapannya, membentak, "Cara bicaramu tidak pantas!"

Sebastian pun berani membalas berkata kasar, "Oh, ya? Bagaimana sikap Ayah selama ini? Tidak pernah pulang, dan terus-menerus menyakiti perasaan Ibu? Apa itu pantas?!"

"Kau? Dasar anak tak tahu diri!" balas pria itu penuh emosi mengangkat sebelah tangannya, bersiap menampar wajah Sebastian.

"Apa?! Ayah akan memukulku?!" balas Sebastian lantang, sembari memajukan wajahnya. Menantang memberikan keleluasaan agar dapat ditampar, kembali berkata, "Pukul aku sekarang! Pukul!"

Sikap Sebastian ini seketika membuat pria itu mengurungkan niatnya, dan hanya menunjuk tepat di wajah Sebastian, membentak, "Jika Ayah tidak pernah memikirkan dirimu dan Ibumu itu, Ayah sudah menceraikannya sejak dulu! Dan kau tidak akan pernah mendapatkan semua ini!"

"Kau pasti sudah menjadi sampah di jalanan!" lanjutnya lantang menyumpahi Sebastian dengan amarah.

"Aku tidak pernah menginginkan semua harta ini! Aku tidak butuh uang! Aku butuh keluarga!" balas Sebastian juga membentak dengan nada bergetar.

Amarah dan kesedihan yang meluap tiba-tiba itu, keluar dari hatinya yang sudah sangat lelah. Kemudian, tiba-tiba meredam menghela napas pasrah, "Aku hanya mengharapkan figur seorang Ayah."

Pria itu hanya diam tetap dengan tatapan dingin. Seakan sorot tajam mata itu tidak pernah mengerti bagaimana gejolak hati putranya selama ini. Sekian detik mereka hanya diam saling menatap dengan sorot mata yang sama, hingga kemudian Sebastian menyerah, berpaling dan pergi menuju kamarnya di lantai dua.

Pria itu kembali duduk di sofa. Terus diam di sana, meski televisi di hadapannya juga tidak menyala. Dialah Tuan Benedict, Ayah kandung Sebastian, yang selama ini hampir tidak pernah pulang karena berselingkuh dengan wanita lain.

***

Selama ini Sebastian dapat meredam emosi dengan jarang bertemu Ayahnya itu. Namun, rasa dendam akhirnya meluap saat mereka bertatap muka. Amarah malam itu seakan terpicu untuk terus bergejolak, membuatnya mudah tersulut emosi tanpa sebab.

Hingga pekan berikutnya, saat istirahat makan siang. Dia seakan berubah menjadi pendiam, hingga Carolyne yang duduk di sampingnya merasa heran, bertanya-tanya cemas. Apakah Sebastian masih saja terpikirkan peristiwa kecelakaan ciuman Senin pekan lalu?

"Kau baik-baik saja?" tanya Carolyne meliriknya cemas, merasa raut wajah kekasihnya ini terkesan menjadi sangat suram.

"Ya. Kenapa?" balas Sebastian tanpa menatapnya, sangat malas untuk berbincang.

"Sedari tadi kau hanya diam," balas Carolyne tetap tidak paham.

"Lalu?" balas Sebatian tiba-tiba meliriknya sinis.

This Garden, Little Heaven 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang