Bagian 12

2 0 0
                                    

Dan tanpa Carolyne ketahui, kondisi ini juga membuat Sebastian gelisah setiap harinya. Dia terus saja terpikirkan gadis itu saat sedang sendiri. Berkali-kali dia menatap ponselnya, ingin menghubungi, namun berkali-kali juga dia urungkan niatnya.

Entah mengapa, bayangan gadis itu tidak pernah hilang dari otaknya. Hingga suatu malam, di akhir pekan, dia hentikan mobilnya di lahan parkir salah satu Bar langganannya.

Cukup lama dia duduk seorang diri, merenung di depan meja bartender. Dia tenggak birnya sekali, meletakkan gelas itu kembali di meja, kemudian memutar-mutar memainkan gelas itu perlahan dengan jari-jari kedua tangannya.

Tatapannya ke arah gelas itu juga terasa kosong. Sesekali dia tengadah menatap televisi terpampang di dinding ujung meja bartender, meski juga sadar tidak dapat mendengar volume televisi, karena suara musik bar mengalun lebih keras. Pikiran kosongnya tidak peduli akan semua suasana itu, dengan menenggak birnya sekali lagi dan kembali menunduk.

Dia melirik ke arah pintu masuk sejenak saat menyadari kehadiran Joey. Siswa Senior, sang kapten tim basket yang juga tampan dan atletis, berpostur lebih tinggi, berambut pirang cepak tertata rapi. Pemuda itu juga tidak heran menemukan Sebastian duduk di sana, karena mereka sudah sering kali bersantai di bar ini.

"Hai, apa kabar?" sapa Joey, segera duduk di sampingnya. Sebastian tetap diam, tidak menoleh, terus menatap gelas birnya. Joey sangat paham, hanya tersenyum, dan segera memesan minuman. "Ramirez, beri aku segelas."

Sang bartender bernama Ramirez, mengangguk paham menyiapkan pesanannya.

"Kau datang sendiri?" tanya Joey, menoleh-noleh mencari kawan lainnya.

Sebastian hanya mengangguk, dan balas bertanya, "Dan kau?"

"Ya. Aku hanya ingin bersantai," jawab Joey sembari menerima segelas bir dari Ramirez, dan menenggaknya sekali sebelum dia letakkan di meja, kemudian terdiam sejenak. Sebastian pun tetap diam hingga jeda beberapa saat.

"Kau ada masalah dengan Ayahmu?" tanya Joey setelah menenggak birnya lagi.

Pertanyaan itu membuat Sebastian menoleh menatapnya, menggeleng sekali, menenggak birnya, dan kembali diam menatap gelasnya.

"Oh, seorang gadis," kata Joey yakin, sadar bukan masalah keluarga yang tengah mengusik hatinya. Seakan sangat paham tentang kehidupan pribadi Sebastian.

Kali ini, Sebastian bergeming menatap gelas birnya, tanpa mengangguk atau menggeleng. Sikapnya itu cukup membuat Joey tersenyum, merasa tebakannya tepat, dan segera bertanya, "Siapa? Si pirang itu?"

"Kau ingin bercerita?" lanjutnya, sembari menatap Sebastian yang hanya menggeleng, tidak ingin membahasnya. Joey seketika paham tidak ingin mendesak, "Baiklah, kita tidak akan membahas itu,"

Sebastian tetap diam, hingga jeda hening lagi sesaat, sebelum Joey membuka perbincangan baru, "Apa yang akan kau lakukan setelah lulus nanti?"

"Kuliah, tentu saja. Lalu bekerja," jawab Sebastian tanpa berpikir panjang, membuat Joey segera mengangguk paham, berkata, "Oh, ya. Kau sudah mendapatkan semua jalan itu."

"Dan kau?" balas Sebastian singkat.

"Ya, aku akan melakukan hal yang sama," jawab Joey dengan santai, dan kembali menenggak birnya. Kemudian dia tersenyum berpikir, menghela napas pasrah, dan berkata, "Aku pasti akan merindukan saat-saat seperti ini."

"Kita tetap bisa terus seperti ini," jawab Sebastian meyakinkan.

"Ya, aku tahu," jawab Joey mengangguk setuju, kemudian berkata lagi, "Tapi, satu hal yang pasti hilang, kita tidak akan bertanding bersama lagi."

Kini Sebastian menoleh, menatap Joey yang tersenyum dan kembali berkata, "Tidak lama lagi aku akan lulus. Dan aku selalu menggadangmu untuk menggantikan posisiku."

Ucapan itu cukup membuat Sebastian terkejut, hingga Joey berkata, "Kau pemain terbaikku saat ini. Dan aku akan memberimu ban kapten itu kelak."

Sebastian kembali terdiam menatap gelasnya, mengangguk paham, dan terus mendengarkan Joey yang tersenyum, seolah membayangkan segala hal saat berkata, "Masa-masa sekolah. Aku akan merindukan gedung sekolah itu, guru-guru yang menyebalkan, dan surat cinta yang menumpuk di kamarku."

Sebastian tersenyum tipis mendengar kalimat terakhir, sadar bagaimana Joey juga dikagumi banyak gadis sejak lama. Bahkan, sempat beberapa kali menolak cinta Diaz yang saat itu terlalu menggebu-gebu mengaguminya.

Mereka terus bersantai di sana, meski tidak banyak yang mereka perbincangkan. Hanya hal-hal ringan tentang sekolah dan semacamnya.

"Baiklah. Aku pulang dulu," kata Joey, setelah menenggak habis birnya, dan meletakkan selembar uang begitu saja di meja, di samping gelas kosongnya.

"Biar aku yang bayar," kata Sebastian berbaik hati.

"Tidak perlu. Kau sudah sering melakukan itu," balas Joey menolak, dan menepuk pundaknya sekali untuk berpamitan pergi.

"Oh, ya," Dia menoleh kembali saat akan keluar pintu bar, membuat Sebastian juga menoleh menatapnya. "Jika kau sungguh mencintainya, jangan menyerah," lanjutnya tiba-tiba memberi dukungan tentang sesuatu yang tidak mereka bahas sebelumnya. Seakan Joey selalu saja paham bagaimana isi hati Sebastian.

Sebastian hanya terdiam heran terus menatapnya, saat Joey kembali berkata, "Kau bisa menghubunginya. Tidak perlu merasa takut untuk memulainya."

Sebastian tetap diam, hingga Joey benar-benar menghilang keluar pintu bar. Dia pun kembali merenung, sembari menikmati sisa waktu malamnya sejenak sebelum kembali pulang.

***

Esok harinya, di Minggu siang.

Carolyne cukup terkejut melihat nomor Sebastian muncul di layar saat ponselnya berdering. Ada perasaan senang, bercampur rasa cemas dan kesal mengingat bagaimana sikap pemuda itu hingga dia masih enggan menerimanya. Namun, panggilan itu tidak berhenti hingga akhirnya dia menekan tombol terima dan berlagak kesal, "Halo?"

"Halo," balas suara Sebastian.

"Ada apa?" balasnya ketus, hingga Sebastian yang mendengar nada suara itu, diam sejenak sebelum bertanya, "Kau,, marah padaku?"

"Tidak. Mengapa aku harus marah padamu?" balas Carolyne, meski masih dengan nada yang sama. Membuat Sebastian berdehem canggung, dan berkata ragu, "Tapi, kau berubah belakangan ini."

"Aku? Aku biasa saja. Tidak ada yang berubah."

"Kau tidak lagi memedulikan aku," kata Sebastian, kali ini membuat Carolyne merasa aneh, tidak paham, membalas berkata, "Aku? Kau sendiri yang menghindar. Kau tidak memedulikanku, mengapa aku harus peduli padamu?"

Sebastian terdiam paham dan merasa bersalah, kemudian berkata, "Ya, memang aku yang salah. Aku ingin meminta maaf."

"Untuk apa? Kau tidak bersalah," balas Carolyne, kini membuat Sebastian bingung sejenak, tidak paham dengan pemikiran gadis ini. Kemudian berkata, "Tidak mengapa. Aku hanya merasa sudah membuatmu kesal."

"Lalu?" balas Carolyne, kemudian terdiam. Dia menunggu Sebastian yang ragu berkata, "Lalu.., apa aku masih boleh menghubungimu?"

"Aku tidak pernah melarangmu," balas Carolyne membuat Sebastian terkejut, masih tidak paham, meski juga merasa lega.

Perlahan perbincangan mereka mulai mencair seperti sedia kala, meski Carolyne belum bisa merasa nyaman dan tertawa lepas seperti dulu.

Di hari-hari berikutnya, Sebastian mulai sering menghubunginya lagi. Dia pun kembali makan siang lebih awal, bergabung bersama Carolyne dan kawan-kawannya. Gadis-gadis itu juga heran melihat sikap mereka berdua, yang selalu terkesan tiba-tiba.

Diaz pun menyindir, "Hei, Sebastian. Ternyata kau masih ingat letak meja ini."

Sebastian hanya tersenyum melirik Carolyne yang duduk di sampingnya. Hingga Diaz kembali menyindir, "Ya, dia masih di situ. Dia tidak pernah pergi ke mana-mana."

Sebastian tidak membantah. Begitu juga Carolyne yang hanya bisa tersipu malu mendengar sindiran Diaz.

This Garden, Little Heaven 1Where stories live. Discover now