Bagian 3

8 1 0
                                    

Langit masih cerah setelah Philippe pulang dan sibuk memotong-motong kayu bakar di samping rumah. Datang Josephine mengendarai sepeda, tersenyum menyapa, "Hai, Philippe."

"Hai," balasnya ramah, segera paham saat Josephine bertanya, "Ibumu ada?"

"Ada. Masuk saja," jawabnya mempersilahkan.

Josephine mengambil bungkusan lipatan kain dari keranjang sepeda, menemui Nyonya Carlos dalam rumah. Philippe pun melanjutkan kesibukannya di luar, hingga beberapa menit kemudian, Josephine keluar bersama Nyonya Carlos, masih meneruskan perbincangan mereka dari dalam sana.

"Ukurannya tetap sama seperti dulu, Nyonya. Ibuku tidak pernah suka jika berat badannya bertambah," kata Josephine tersenyum bercanda.

"Baiklah. Catatannya masih aku simpan," balas Nyonya Carlos tersenyum, "Nanti, biar Philippe antarkan jika sudah selesai."

"Tidak perlu repot-repot, Nyonya. Biar aku ambil kemari," balas Josephine menolak.

Philippe kini berdiri terdiam, sejenak mendengarkan percakapan mereka.

"Kau akan pulang sekarang?" tanya Nyonya Carlos.

"Tidak. Aku ingin berbincang dengan Philippe," jawab Josephine.

"Baiklah, aku masuk dulu. Salam untuk ibumu," Nyonya Carlos berpamitan kembali ke rumah, dibalas Josephine, "Baik, Nyonya. Nanti aku sampaikan."

"Kau ada perlu denganku?" tanya Philippe bingung.

"Aku hanya ingin bersantai di sini sejenak," Josephine tersenyum, berjalan menuju pantai bersama Philippe yang paham segera menemaninya.

"Aku iri padamu. Pasti sangat menyenangkan bisa bersantai di pantai setiap hari," lanjutnya berdiri menatap lautan.

"Kau pasti juga akan bosan, jika hidup di sini," balas Philippe tersenyum, duduk di satu batang pohon tumbang yang sering kali dia duduki untuk bersantai, di belakang posisi berdiri Josephine.

"Tidak. Aku tidak akan pernah bosan dengan suasana pantai," Josephine tersenyum menatapnya, dan kembali menikmati bentangan laut di hadapannya.

"Aku selalu menyukainya," lanjutnya sembari merentangkan kedua tangan dan pejamkan mata, menghayati semilir tiupan angin. Philippe hanya tersenyum melihat sikapnya itu. Kemudian Josephine menghalau sinar matahari dengan telapak tangannya di dahi, mengamati satu pulau jauh di depan sana, Isla del Frio.

"Kau pernah ke sana?" tanya Josephine masih dengan pose yang sama.

"Ya," jawab Philippe singkat.

"Sungguh?" Josephine menoleh girang, mendekat dan duduk di samping Philippe yang mengangguk membalas, "Hehem,"

"Apa yang kau lakukan di sana?" Josephine tersenyum antusias.

"Berkemah, berpesta api unggun. Tapi sudah lama sekali," jawab Philippe.

Josephine tetap tersenyum menatapnya. Bersiap mendengarkan cerita Philippe yang paham, segera menggeleng, "Ah,, tidak, tidak. Kau pasti tidak ingin mendengarnya."

"Itu hal bodoh yang pernah aku lakukan," lanjutnya merasa malu.

Namun Josephine tetap menunjukan tatapan yang sama, sungguh ingin mendengar ceritanya. Philippe pun tersenyum pasrah, menatap pulau itu sembari bercerita. "Saat itu aku masih berusia 8 tahun. Seorang pemuda tetanggaku akan menikah, dan mereka ingin merayakan pesta bujang, berpesta api unggun di sana."

Dia diam jeda sejenak, tersenyum mengingat itu. "Aku dan Pedro bersikeras untuk ikut mereka. Karena kami pikir, itu pasti sangat menyenangkan."

"Semalaman kami di sana. Bermain gitar di depan api unggun, menyantap ikan bakar, dan bermabuk-mabukan. Aku dan Pedro berteriak-teriak kegirangan mengiringi lagu yang mereka nyanyikan, seperti orang teler. Karena di sana kami merasa bebas tanpa ada pengawasan orang tua."

Josephine ikut tersenyum menghayati, saat dia kembali merasa malu, berkata, "Esok paginya, kami pulang dalam keadaan mabuk berat. Aku dan Pedro dibiarkan terkapar begitu saja dalam perahu oleh mereka, hingga aku harus dibopong pulang oleh Ayahku."

"Aku kena marah orang tuaku habis-habisan. Aku tetap diam, tidak berani berkata saat Ayah-Ibuku mengomel-omel. Karena napasku masih bau alkohol," lanjutnya tersenyum lebar, menggerak-gerakkan sebelah tangan di depan wajah, mengekspresikan bau napas itu. Josephine terus terhanyut, tersenyum-senyum mendengarnya.

"Aku dihukum dengan harus tidur di lantai semalaman tanpa selimut hingga tubuhku menggigil kedinginan, dan harus menggantikan tugas rumah Ibuku selama satu bulan. Mencuci baju, mencuci peralatan dapur dan membersihkan rumah. Dan, pastinya tidak ada uang saku selama satu bulan itu."

Senyum lebarnya perlahan mereda, menghela napas berkata, "Ya, begitulah masa kecilku. Entah apa yang aku pikirkan hingga bisa sampai sebodoh itu."

Josephine tetap tersenyum meliriknya, menghayati cerita konyol itu beberapa saat. Kemudian membuka perbincangan baru, "Kau juga sering menyelam?"

"Tentu saja. Jika aku mau, aku bisa melakukannya setiap hari."

"Ah, ya. Itu pertanyaan bodoh," Josephine tersenyum malu, salah tingkah, dan segera bertanya, "Menggunakan peralatan menyelam?"

"Tidak. Langsung menyelam saja."

"Napasmu pasti kuat sekali." Josephine kagum.

Philippe pun tersenyum, "Kau pasti akan terbiasa, jika sering melakukannya sejak kecil."

"Kami biasa mencari ikan, atau sekadar menghabiskan waktu. Menikmati lautan, terumbu karang, ikan-ikan. Seakan itu hal yang menyenangkan untuk dilakukan." lanjutnya menghayati, kemudian terdiam jeda lagi. Dia terus menatap lautan, tersenyum tipis, "Mungkin karena memang hanya itu yang bisa kami lakukan untuk menghibur diri."

Josephine tidak menatap ke arah yang sama. Dia terus saja menatap wajah Philippe dari samping, menghayati gerakan bibir Philippe saat bercerita. Hatinya merasa nyaman, pikirannya perlahan terhanyut melayang, tiba-tiba melantur bertanya, "Apa kau pernah menyukai seseorang?"

"Maksudmu?" balas Philippe kini menatapnya bingung, tidak paham.

"Ah, tidak. Tidak mengapa," Josephine tersadar segera mengelak, mengalihkan perbincangan lagi. "Kau sering ikut Ayahmu melaut?"

"Ya, tentu saja," jawab Philippe.

"Kau menyukainya?" tanya Josephine, kali ini membuat Philippe tersenyum lucu meliriknya, dan bertanya, "Apa aku harus menjawab itu?"

"Mengapa? Apa aku salah bertanya tentang itu?" balas Josephine tidak paham.

Philippe tersenyum, menghela napas pasrah, kembali menatap laut dan berkata, "Aku tidak ingin berkata, mungkin aku merasa terpaksa melakukan itu. Tapi memang beginilah kehidupan kami."

Ucapannya membuat Josephine paham, terdiam sejenak, dan bertanya, "Kau tidak akan mengikuti jejak Ayahmu?"

"Aku selalu bersyukur dengan kehidupan kami. Tapi, semua orang pasti berharap dapat menjalani hidup yang lebih baik," jawab Philippe tersenyum yakin, menerawang menatap lautan dalam harapan. "Aku ingin melanjutkan pendidikanku dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Aku ingin membahagiakan orang tua dan adik-adikku kelak."

"Kau akan kuliah?" tanya Josephine tersenyum senang mendengarnya.

"Ya. Aku sedang mencari kerja untuk biaya kuliahku nanti," jawabnya tersenyum menatap Josephine, yang juga tersenyum senang membalasnya. Mereka kembali terdiam menatap laut, menikmati embusan angin, dan langit senja yang perlahan meredup keemasan di ufuk barat.

"Sudah sore. Sebaiknya aku pulang sebelum gelap." Josephine bangkit berdiri, berjalan bersama Philippe kembali ke rumah. Josephine naik sepedanya dan berpamitan, "Aku pulang dulu."

"Ya. Berhati-hatilah," balas Philippe tetap berdiri di sana, mengamati gadis itu pergi. Dia tersenyum saat melihat Josephine melewati rumah Pedro, menyapa, "Hai, Pedro. Kau baru bangun tidur?"

"Oh, hai, Josephine," balas Pedro tersadar saat keluar rumah dengan tampang kusut. Dia segera bertanya saat gadis itu juga tidak berhenti, "Kau akan pulang?"

"Ya. Sampai jumpa di sekolah," jawab Josephine tersenyum, terus mengayuh sepedanya hingga menghilang jauh di tikungan ujung jalan. Philippe lagi-lagi hanya membalas tersenyum saat Pedro menatapnya bingung dari kejauhan, sebelum masuk ke rumah masing-masing tanpa berbincang.

This Garden, Little Heaven 1Where stories live. Discover now