1

10.1K 561 78
                                    


Maret 1998

Aku terburu-buru menuju toilet karena kaos yang kukenakan sudah basah kuyup oleh keringat. Kaos ini kualitasnya jelek, tak layak sebagai jersey klub basket. Tapi mau bilang apa, kampus tak sokong dana yang cukup untuk kejuaraan basket antar kampus tahun ini. Kampusku memang bukan kampus populer, bisa ikut kejuaraan saja sudah bagus. Hari ini klubku bisa menang di pertandingan kandang. Skor tipis, tapi pokoknya menang.

Kampus sepi, karena sekarang sudah pukul lima sore. Kelas terakhir selesai sepuluh menit lalu, tapi tadi aku melihat masih ada beberapa anak Mapala yang sedang berlatih panjat tebing di lapangan dan beberapa mahasiswa lain yang sekedar duduk-duduk menonton.

Ketika aku masuk pintu toilet, samar-samar ku dengar rintihan di pintu sebelah - pintu toilet khusus cewek. Aku sudah bilang kan, kalau kampusku bukan kampus top, toilet kami hanya ada dua pintu di setiap lantai, letaknya di dekat tangga, agak menjorok ke dalam dibanding pintu-pintu kelas. Toilet hanya ada dua: satu untuk laki-laki, satu pintu lainnya untuk wanita. Sejajar.

Aku mendengar jelas rintihan itu, tapi tidak mempedulikan, keburu gerah ingin berganti kaos. Lagi pula setelah masuk, aku tak mendengar lagi suara rintihan itu, jadi kupikir bisa saja aku salah dengar.

Hanya saja, ketika aku baru dua langkah keluar dari toilet, rintihan itu terdengar lagi. Sontak aku berhenti, lalu menengok ke arah pintu toilet wanita. Saat itu lah aku melihat cairan berwarna merah menggenang di celah bawah pintu. Sungguh! Cairan serupa darah merembes lewat celah pintu bawah. Sayup-sayup kudengar rintihan dari dalam, pelan dan lirih. Jantungku berdebar melihat rembesan cairan serupa darah itu pelan-pelan bergerak makin melebar dan menggenang di depan pintu.

Aku gugup dan bimban -antara penasaran dan rasa takut yang menyergap tiba-tiba. Apakah aku harus membuka pintu itu atau bagaimana. Aku menimbang-nimbang akan melakukan apa, sebelum akhirnya kuputuskan mendekat ke pintu itu dengan langkah hati-hati. Tanpa suara.

Aku menempelkan telingaku di pintu itu. Betul saja, dari sini rintihan itu semakin jelas. Kudengar napas memburu dari orang di dalam, seperti dihembuskan paksa dari hidung, berulang-ulang dan cepat. Dadaku berdebar-debar, seperti mengejar tempo embusan napas orang itu.

Aku coba beranikan diri menyeru. "Siapa di dalam? Apakah baik-baik saja?" Suaraku tercekik di tenggorokan, sampai-sampai aku harus berdehem dua kali untuk memulihkan suaraku.

Tidak ada jawaban. Bahkan suara rintihan dan napas yang memburu itu mendadak berhenti. Aku menunggu untuk beberapa detik, barangkali saja berikutnya ada jawaban. Setelah sekian detik, tetap tidak ada jawaban ... entahlah sudah berapa detik atau menit, aku tidak bisa memperkirakan, rasanya waktu seperti berhenti.

"Halooo ada orang di dalam?" tanyaku lebih pelan dari sebelumnya. Sekitar tiga helaan napas, tiba-tiba ada suara dari dalam.

"Tolong aku."

Suaranya terdengar pelan sekali, aku menahan napas takut salah dengar. Aku yakin seseorang di dalam sana benar-benar bersuara dan dia jelas minta tolong. Tanpa menunggu lagi, aku menggerakan gagang pintu untuk membuka. Tapi terkunci.

"Pintunya kamu kunci, kamu harus buka dulu," kataku.

Terdengar suara gaduh di dalam, tidak persis gaduh, tapi seperti beberapa benda beradu. Aku masih menunggu dengan debaran yang sama, juga rasa takut yang sama.

Krreeeeek!

Terdengar seperti suara slot dibuka, lalu hening. Tanganku gemetar menggerakan gagang pintu itu lagi, lalu membukanya pelan-pelan. Derit suara engsel pintu terdengar bersamaan dengan pintu yang terbuka.

"Astaga!" Pekikku tersangkut lagi di tenggorokan.

Jantungku rasanya langsung berhenti berdetak melihat pemandangan di depanku saat ini. Seorang cewek sedang terkulai lemah di lantai kamar mandi. Ia bersandar di bak air, tangan kirinya menggenggam gayung, sedangkan tangan kanannya memegang gagang panjang pemompa WC. Sepertinya gagang pompa itu lah yang tadi membantunya membuka selot pintu.

DARAH MuDA (1) EEPWhere stories live. Discover now