32 - headline: local cinnamon roll trying to look tough

1.1K 276 107
                                    

KONON, ruang interogasi di Markas Besar Kepolisian Petrova mempunyai tingkat keseraman setara dengan rumah hantu sungguhan. Bahkan lebih horor, menurut segelintir kriminal tertentu yang telah mencicipi ruangan tersebut.

Segala hal di sana didesain supaya menimbulkan kesan mencekam, mulai dari keempat dinding kelabunya—sempit dan menekan, suhu ruangan yang selalu berada di bawah sepuluh derajat, sampai keberadaan lampu gantung remang-remang yang kerap berderit kendati tidak ada angin. Belum lagi peraturan yang menegaskan agar si tersangka membuka pakaian mereka sebagai bentuk dari tahap awal penyiksaan.

Sebuah meja baja di tengah-tengah ruangan memisahkan dua buah bangku yang saling berhadapan. Chief Preston Ware menduduki salah satunya sambil memegang gelas plastik berisi kopi hitam. Lama tak tersentuh, kopi yang tadinya mengepulkan uap panas itu perlahan mulai mendingin.

Di seberangnya, duduklah seorang teroris di bawah naungan nama Venom, lelaki yang namanya telah cukup lama mendiami daftar buron kepolisian.

Sepasang tangan kurus Ray dibelenggu oleh borgol yang menempel pada permukaan meja. Celana pendek jingga berbahan tipis—tanda kemurahan hati para polisi—adalah satu-satunya fabrik yang ia kenakan.

Chief Preston bisa melihat Ray menggigil; merah pada irisnya merambat ke bagian putih matanya, bibir pucat membiru, tiap embusan napas menghasilkan karbon dioksida berkabut.

Tuhan tahu apa yang membuat kepala pemuda ini sekeras cangkang kura-kura raksasa di lautan. Ray menepis segala pembicaraan terkait Venom dan aksi-aksi mereka, padahal dia sudah mendekam di ruang interogasi selama kurang lebih tiga puluh menit.

"Biar kutanya sekali lagi," ulang Chief Preston, kesekian kalinya hari itu.

"Tentang apa? Tujuan kami? Alasan kami dibentuk?" Geligi Ray bergemeletuk akibat usahanya menyunggingkan senyum. "Membosankan. Coba tanyai aku hal-hal yang sederhana."

Sebelah alis Chief Preston terangkat. Ia jelas tidak mengharapkan respons tersebut. "Ini bukan permainan."

"Seingatku kau menyebutnya interogasi. Jadi, apa kabar?" balas Ray. Ternyata bukan pergerakannya saja yang gesit. Pemuda itu menjawab dengan kecepatan terlatih, nyaris tanpa jeda, seolah ia telah menyusun jawaban sebelum pertanyaan sempat dilontarkan.

Chief Preston mendapati dirinya sendiri terpancing, entah gara-gara haus informasi atau Ray memang pandai memprovokasi seseorang. Maka ia menyahut, "Kabar baik. Bagaimana kondisimu?"

"Buruk. Barangkali di ambang hiportemia jika rekanmu di luar ruangan terus-menerus menurunkan suhu."

"Aku tidak tahu kau merasakannya." Chief Preston melirik cermin dua arah yang terpajang di dinding bagian kiri.

Ray mengikuti arah lirikannya, melambai singkat—semampu orang yang tangannya sedang diborgol—kepada para petugas polisi yang mengamati sesi interogasi itu dari balik cermin. "Aku setengah telanjang. Menurutmu bagaimana?"

"Menurutku kau sangat berbakat. Katakanlah, apa ini bukan siksaan pertamamu?"

Ray terkekeh setengah terbatuk. "Percayalah, bukan yang terakhir juga."

"Aku bisa menjamin."

"Tolong jangan repot-repot."

Chief Preston berhasil menghentikan lidahnya sebelum tergoda melayangkan balasan lain, bibirnya yang berparut-parut, keunguan akibat rokok, merengut tidak puas. Ray pun ikut terdiam. Alternasi tatapan tidak bersahabat antara keduanya merupakan satu-satunya hal yang mengisi kesunyian lambat itu, upaya nyata untuk meneliti kegentaran di raut wajah satu sama lain.

Tak pelak, Chief Preston sedikitnya merasa terkesan melihat ketahanan fisik Ray terhadap suhu ruangan yang mulai mendekati nol derajat, serta pemikiran cerdiknya untuk mengulur-ulur waktu interogasi.

heart of terrorWhere stories live. Discover now