31 - our favorite angry boy, truly an icon

1.2K 275 58
                                    

SENDIRIAN dan mencurigakan, seorang pria tampak bengong menyaksikan peristiwa tenggelamnya matahari dari puncak gedung terbengkalai di pinggiran Distrik Calyxtian. Gedung yang katanya horor karena bekas pembantaian; Gedung Retorra. Nama yang tidak pernah asing di telinga para penegak keadilan, terutama kepolisian.

Syal beserta ekor mantel polo pria itu berkibar-kibar di belakang tubuh jangkungnya, menerima empasan demi empasan angin musim gugur yang semakin dingin seiring turunnya matahari. Sementara di bawah gedung, distrik teknologi berkerlap-kerlip ceria memamerkan pesona malamnya. Lautan manusia tumpah ruah di jalanan. Rentetan kendaraan bertenaga listrik berlalu-lalang tanpa suara. Papan-papan kecil yang mengiklankan beragam produk melayang ke sana kemari secara otomatis, berupaya merebut hati pelanggan.

Barulah ketika titik cahaya terakhir telah sirna ditelan kegelapan malam, atensi pria itu beralih kepada hal lain: ponsel. Benda tersebut telah berbunyi tiga kali dari penelepon yang sama. Sekarang yang keempat.

Ia mengangkat tepat pada dering terakhir. "Halo, Andromeda," sapanya. "Apa kabar?"

Napas seseorang di ujung telepon terdengar tercekat, terang-terangan menunjukkan bahwa ia tidak menduga teleponnya akan diangkat. "Tidak baik. Kami butuh bantuanmu."

"Aku sudah dengar beritanya. Semoga Valor dan Atlas baik-baik saja, juga Ray ... "

"Terus kenapa diam saja?" tuding Andromeda.

"Aku mesti berbuat apa?" Pria itu menghela napas panjang. "Andromeda," ujarnya lembut. "Connor melarang kalian menghubungiku kecuali dalam pengawasannya."

Andromeda terdiam sejenak. Lalu, ragu-ragu, "Kau lupa bos tidak ada di sini."

Giliran pria itu yang terdiam. Cukup lama. Memberikan waktu bagi Andromeda untuk berpikir ulang apakah bos bakal menghargai perbuatannya ini. Pasalnya, Andromeda telah melanggar peraturan yang paling sering diwanti-wanti Connor agar tidak dilanggar. Peraturan yang sampai detik ini pun tidak ia pahami penyebabnya. Si pria bukan orang asing, justru dia adalah informan utama Venom sekaligus utusan Connor yang merekrut Andromeda.

Lantas mengapa Connor tidak memperlakukan si informan sebagaimana ia memperlakukan Alexzander dan lain-lain, yang bisa bebas mereka ajak berkomunikasi tanpa perlu diawasi? Pernah sekali Bellezza bertanya demikian, dan jawaban bos sebatas, "kalian tidak boleh terlalu nyaman mengandalkannya." Bellezza tahu gelagat seseorang yang enggan membahas sebuah topik, maka ia menjatuhkan rasa penasarannya. Sesudah itu, tidak ada lagi yang mengungkit-ungkit persoalan si informan. Larangan Connor berbaur dalam rutinitas sehari-hari Venom.

Sekarang, tanpa diduga-duga, Andromeda malah menghubunginya.

"Kau di sana?" Gadis itu mencoba. Ia berdeham. Suaranya diwarnai kesangsian ketika ia memanggil lirih, "Essence?"

Pria itu, Essence, tersentak dari lamunan yang sedetik lalu menghinggapinya. "Menyebut namaku juga terlarang. Benar?"

"Inisial diizinkan."

"Essence bukan inisial."

"Bukan nama aslimu juga. Kutebak semacam nama 'panggung'."

Kedua sudut bibir Essence tertarik ke atas, menciptakan kurva tipis yang dengan cepat disembunyikan di balik syal. Tentu saja Andromeda telah berusaha menebaknya. "Kulihat kemampuan observasimu semakin tajam," jawabnya tulus. "Aku curiga kau menelepon karena cuma ingin pamer. Atau jangan-jangan kau merindukanku?"

"Aku tidak menyangkalnya," sahut Andromeda.

Essence menunggu, tetapi jeda yang membentang membuat Essence yakin bahwa gadis itu menginginkannya berbicara. Membuka topik. Mengobrol. Senyum Essence mengembang jadi seringai. "Aku juga merindukan murid favoritku," katanya.

heart of terrorOnde as histórias ganham vida. Descobre agora