25 - a quest to the deadly shoes, now with sequel

1.1K 283 52
                                    

PABRIK senjata favorit Alpha sudah ditinggalkan sebagian besar para pekerjanya persis saat Connor baru tiba di depan gerbang, mengendarai motor yang sama yang tadi ia kendarai menuju Underground Hotel. Orang-orang berseliweran keluar dari pabrik tak bernama tersebut sambil menenteng koper. Tampang mereka panik, jalannya terburu-buru dan saling tabrak.

Connor membuka helm dan menyibak rambut keemasannya yang berantakan. Lalu tangannya yang dibungkus sarung tangan bergerak merogoh saku celana, mengambil ponsel.

Dari sekian banyak perintah yang diterimanya, ia paling tidak menyangka bakal diperintah oleh anak-anak ayamnya sendiri—Venom—atas usul gemilang Jasper. Bukannya Connor mempermasalahkan, ia justru senang mereka punya inisiatif.

Usai memparkir motor asal-asalan di halaman depan pabrik, Connor melangkah masuk ke pabrik. Tidak ada yang menghentikannya kecuali arus deras para pekerja yang hendak kabur. Barangkali mereka telah mendengar kabar tentang peringkusan Underground Hotel, dan takut kalau-kalau pabrik ilegal ini juga akan dibekuk kepolisian. Sebagai anggota polisi, Connor bisa mengonfirmasi bahwa kabar itu tidak benar. Ia telah bertanya kepada Jessamy, walau enggan, sebab ia terlalu gengsi untuk menghampiri kakaknya yang jelas-jelas dengan halus telah mengusirnya.

Masih sambil memegang helm, Connor menelusuri bagian dalam pabrik, memindainya sejenak mulai dari lobi sederhana yang menyediakan sofa-sofa butut dan bertumpuk-tumpuk kardus siap angkut, meja resepsionis kosong, dan sejumlah lorong yang disesaki pekerja.

Connor meraih lengan salah seorang pekerja yang lewat. "Di mana tempat penyimpanan Airshot Sneakers seri 50?"

Pekerja wanita itu terkesiap, barang-barang bawaannya nyaris terjatuh. "Lantai empat, lorong pertama bagian sepatu." Belum sempat Connor bertanya lebih lanjut, si wanita sudah terhuyung-huyung menjauh. Ia mengangkat bahu dan kembali meneruskan perjalanan.

Connor mendapati bahwa tangga terlalu ramai, alhasil ia memilih menggunakan lift di ujung salah satu lorong yang, secara mengejutkan, kosong melompong. Para pekerja yang menempati lantai teratas pasti sudah turun semua. Maka dari itu, masuklah sang One Man Army ke dalam lift. Tombol ditekan, dan ia naik ke lantai empat pabrik diiringi alunan melodi yang terdengar melalui pengeras suara.

Tidak butuh waktu lama. Lift berhenti disertai denting halus, mempersilakan Connor menapak ke luar ke lantai tujuan setelah pintunya bergeser terbuka. Lorong panjang nan sepi lantas menyambutnya, membentang sejauh beberapa meter sebelum berakhir di kelokan menuju lorong lain. Betul-betul sudah tidak ada orang lagi di sana, dan penerangan yang sudah dimatikan sebagian menambah suasana semakin terasa mencekam. Connor berusaha mengusik perasaan merinding yang tiba-tiba merayapi tengkuknya.

Mau bagaimana pun, ia termasuk orang yang membenci film horor.

Sembari memeluk helm lebih rapat ke sisinya, Connor berjalan memasuki lorong. Langkah-langkah lebarnya bergema dalam keheningan. Ia tidak takut, tidak bisa kelihatan takut terutama karena ada CCTV di setiap sudut.

Connor memperhatikan sederet pintu di bagian kiri lorong tersebut, berjarak dua sampai tiga meter antara satu sama lain, sedangkan tembok kusam di kanannya tidak memuat apa-apa selain cat gading berkelupas.

Selagi berjalan, Connor tidak lupa membaca plang-plang bertuliskan nama ruangan yang terpasang di setiap bagian atas pintu. Ketika hampir mencapai kelokan, pada pintu terakhir, tertulislah plang Bagian Penyimpanan Sepatu. Connor menghentikan langkah. Ia menatap mesin pemindai sidik jari di atas kenop.

Tentu saja. Pria itu mengembuskan napas pasrah seraya merogoh bagian dalam saku jaket kulitnya. Ini, 'kan Hydra. Ia mengeluarkan sebuah benda berbentuk lingkaran seperti solasi. Connor merobek kertas dari sana lalu menempelkannya ke kenop pintu, mengira-ngira bagian mana yang paling sering disentuh jempol seseorang. Kertas kemudian dipijit.

heart of terrorWhere stories live. Discover now