17. Mencaritahu

12.2K 1K 59
                                    

Hujan di luar menderas. Tetesan airnya mampu menciptakan serupa melodi yang mengiringi rasa sesak dalam hati Aprillyana. Sesekali suara guntur menggelegar membuat rasa gundah semakin membuncah. Kali ini bukan lagi tentang Kapten Ali. Bukan. Entah mengapa, Aprillyana seakan sudah mulai bisa sedikit melupakannya. Tapi ini tentang sahabatnya, Nurul. Aprillyana merasa bahwa Nurul akhir-akhir ini memang berbeda. Bukannya Aprillyana tidak bahagia atas kebahagiaan Nurul, hanya saja, perubahan Nurul itu membuat waktu di antara mereka berdua semakin berkurang. Saat di pondok misalnya, saat mereka bersama, dulu lebih banyak bercengkrama, sekarang Nurul justru sibuk dengan ponselnya.

Aprillyana menghela napasnya. Siapa pun yang telah membuat sahabatnya bahagia, Aprillyana akan mengucapkan terima kasih karena sudah membuat sahabatnya bahagia. Meski terbesit rasa sedih karena Nurul sedikit berubah, tetapi Aprillyana berusaha menyadari bahwa mungkin memang bukan haknya untuk ikut campur pada kehidupan Nurul. Ya, meski kenyataannya memang dia sahabatnya. Namun, sahabat kadangkala tidak harus melulu terlalu ikut campur dengan urusan sahabatnya.

Aprillyana menoleh ke samping. Seulas senyum langsung terbit tanpa bisa dia cegah. Dia menatap wajah Aliandra yang sedang tertidur pulas. Terlihat sangat damai. Kadang Aprillyana bertanya. Bagaimana bisa Aliandra memiliki wajah seteduh ini meskipun sedang tertidur?

Memang keduanya sepakat untuk saling belajar untuk menerima kehadiran satu sama lain. Mencintai satu sama lain. Dan juga Aliandra melarang Aprillyana untuk melepaskan cadarnya sebelum keduanya sudah benar-benar yakin bahwa keduanya sudah jatuh hati satu sama lain. Tapi bukan berarti mereka tidur berpisah ranjang. Mereka tetap tidur satu ranjang, hanya saja mereka belum melakukan apa yang seharusnya sudah dilakukan.

Jujur saja. Semakin hari Aprillyana semakin terbiasa dengan hadirnya Aliandra di kehidupannya. Bahkan sikap Aliandra berkali-kali mampu membuat hati Aprillyana menghangat. Aliandra selalu punya cara untuk membuatnya tidak canggung. Lelucon yang Aliandra ciptakan membuat Aprillyana merasa terhibur, meski kadangkala Aliandra begitu menyebalkan.

"I know, Illyana, I know that I'm handsome. But don't stare at me like––um, I can't describe it."

Aprillyana langsung membuang muka. Jantungnya berdebar hebat. Mukanya merah padam. Dia sungguh malu. Benar-benar malu. Dia ingin menenggelamkan diri di dasar lautan atau di mana saja yang penting tidak di hadapan Aliandra sekarang. Dia ketahuan sedang menatap Aliandra yang dia kira tengah tertidur. Aprillyana merutuk dalam hati. Rasanya sungguh malu luar biasa.

"A-anu ... a-aku––"

"Iya aku tahu kamu sedang mengagumi ketampananku juga kan? Muehehe, makasih loh, Illyana." Aliandra nyengir lebar. Memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih. Dan sebuah senyuman yang menurut Aprillyana sangat manis dan menyebalkan dalam satu waktu.

"A-aku––"

"Iya nggak apa-apa. Silakan kamu pandangi lagi, nih, silakan!" Aliandra tersenyum lebar seraya mendekatkan wajahnya ke arah Aprillyana.

Aprillyana langsung membuang muka lagi. Lagi dan lagi, perasaan aneh itu menggelitik hatinya. Menciptakan rasa yang tidak bisa Aprillyana definisikan.

"Nggak!" Aprillyana berujar tegas. Berusaha keras untuk tidak menoleh ke arah Aliandra.

"Nggak apanya?" Aliandra menaikkan satu alisnya. Dia menatap punggung Aprillyana dengan senyuman lebarnya.

"A-aku mau tidur, ngantuk." Aprillyana mengalihkan pembicaraan. Dia segera menarik selimut dengan posisi memunggungi Aliandra.

"Di luar hujan," ujar Aliandra.

"Iya."

"Sekarang jam berapa?"

Dear Imamku, Aliandra [✓]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora