15. DI, A (i) Belajar

13.5K 1.2K 39
                                    

Kutitipkan kata lewat senja
Namun, senja seakan enggan menerima.
Kutulis aksara di atas tanah berdebu
Namun, hujan menghapusnya.
Kubisikkan kalimat pada angin
Namun, katanya angin telah membawa kalimat lain.
Lantas, harus bagaimana aku mengungkapkannya?
Kepada embun di pagi hari?
Kepada rembulan dan gemintang?
Kepada matahari yang tersembunyi mega?
Sebenarnya, tidak sepenting itu.
Hanya saja, aku ingin dia berhenti,
berhenti hadir dalam benakku.

Aprillyana menghela napasnya samar. Memandang mendung hitam yang menghiasi kanvas langit. Perlahan rintik hujan jatuh membasahi bumi, membuat Aprillyana menutup buku merah jambunya. Aprillyana berdiri dari duduknya dan berderap menuju pinggiran balkon. Menghirup dalam-dalam aroma petrichor. Aroma yang bukan hanya mampu membuat Aprillyana tenang, tapi juga membuat sepenggal memori mampir di benak Aprillyana. Aprillyana lagi-lagi mengembuskan napasnya berat. Berusaha membuang rasa yang ada pada hatinya. Tentang rasa sakit. Dan rasa yang entah mengapa sungguh sulit untuk dia enyahkan.

Benak Aprillyana melayang ke bagian dari ingatannya tentang seminggu yang lalu. Tepatnya setelah resepsi pernikahannya.

Saat itu Aprillyana duduk dengan takut, khawatir, gugup, cemas dan berbagai macam perasaan yang lain. Aliandra perlahan berjalan ke arah Aprillyana, dan duduk di samping Aprillyana. Hal itu membuat jantung Aprillyana berdegup dengan kecepatan tidak normal. Keringat dingin juga memenuhi tubuh Aprillyana.

Aliandra memegang dengan lembut pundak Aprillyana, menyuruh Aprillyana untuk menoleh ke arahnya. Akhirnya, Aprillyana dengan gugup menatap mata Aliandra, membuat Aliandra menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum dengan senyuman yang sarat akan ketulusan.

"Aku tahu, semua ini berat untuk kita berdua," Aliandra mengatakan kalimat itu tanpa mengalihkan pandangannya dari manik mata Aprillyana, "semua ini terlalu tiba-tiba untuk kita berdua. Aku juga yakin kalau sebenarnya kamu juga belum siap dengan semua ini."

Aprillyana memandang Aliandra, menunggu Aliandra melanjutkan kalimatnya.

"Tapi Aprillyana, semuanya sudah terjadi. Kita tidak pernah tahu takdir Allah akan membawa kita ke mana. Yang pasti, kita tidak bisa menolak jika memang ini sudah menjadi takdir kita ...." Ada jeda dalam ungkapan Aliandra. Aliandra menghela napasnya, seakan membuang gumpalan pahit yang membebaninya, "untuk itu aku mau mengatakan satu hal yang aku harap bisa membuat kamu juga lebih merasa nyaman."

Tatapan keduanya seakan sama-sama mengungkapan banyak hal yang tak mampu mereka katakan. Begitu banyak. Sampai-sampai mereka sama-sama memilih diam untuk beberapa saat. Aprillyana tetap membiarkan kedua tangan Aliandra di atas pundaknya. Dia menatap mata Aliandra yang penuh dengan ketenangan meski sebenarnya banyak kata yang tersimpan di dalamnya. Hening menggantung selama beberapa saat.

Aliandra menarik napas dan mengembuskannya perlahan. "Mari kita sama-sama belajar, Illyana. Karena aku tahu bahwa hatimu saat ini masih belum menjadi milikku. Dan hatiku juga masih belum menjadi milikmu. Untuk itu ... mari kita sama-sama belajar. Belajar untuk membiasakan diri dengan kehadiran satu sama lain. Belajar menumbuhkan rasa yang seharusnya sudah ada di antara kita yang sudah terikat."

Kerongkongan Aprillyana tercekat. Dia tidak mampu mengatakan sepatah kata. Setiap kata yang terucap dari bibir Aliandra yang penuh dengan kelembutan, seakan memiliki kekuatan magis yang membuat Aprillyana hanya mampu diam dan mendengarkan. Tidak ada nada menuntut. Hal itu membuat sebagian dari hati Aprillyana dilingkupi dengan perasaan lega.

"Aku akan belajar menerima kehadiranmu. Aku akan belajar untuk menumbuhkan rasa pada hatiku. Aku akan belajar membuatmu juga jatuh hati padaku. Dan kamu juga harus melakukan hal yang serupa denganku, Illyana."

Dear Imamku, Aliandra [✓]Where stories live. Discover now