06. Sebuah Pesan

14K 1.1K 23
                                    

“Allah adalah pembuat skenario hidup. Kita tidak pernah tahu apa skenario-Nya.”

___________

Pagi ini masih seperti biasa. Aprillyana berserta kedua orang tuanya dan juga kakaknya menghabiskan sarapan dengan perbincangan ringan. Sesekali membahas tentang pernikahan Sheina yang tinggal menghitung hari. Aprillyana hanya sesekali menimpali, ikut tertawa saat Abi berusaha membuat lelucon yang sebenarnya bisa dikatakan garing. Namun, demi menghormati Abi, dan juga agar Abi tidak terlalu malu karena leluconnya gagal total, Aprillyana, Ummi dan Sheina memutuskan untuk tetap tertawa pelan.

"Hari ini Sheina mau ada acara ketemuan sama teman-teman Sheina." Itu kalimat yang diucapkan Sheina setelah hening selama beberapa saat.

"Ketemuannya di mana?" tanya Abi setelah meneguk segelas air putih.

"Di kafe dekat sini kok, Bi. Sekalian mau mengundang teman-teman ke acara pernikahan Sheina."

Abi mengangguk takzim sebagai tanda persetujuan.

"Sheina diantar Pak Rusdi?" Kini giliran Ummi yang bertanya.

Sheina menggeleng pelan. "Tidak, Ummi. Sheina bawa motor sendiri aja. Lagian juga lumayan dekat."

Aprillyana hanya mampu diam. Sibuk dengan pikirannya sendiri. Entah mengapa dia tiba-tiba saja merasa bersalah. Dia tidak ingin merusak kebahagiaan yang telah lama kakaknya idamkan. Dia ingin segera menghapus rasa yang ada di hatinya. Dia tidak mau lancang menerobos ke dalam kebahagiaan kakaknya. Dia tidak boleh egois. Karena biar bagaimanapun rasa yang ada di hatinya itu merupakan sebuah kesalahan. Perasaan yang dia rasakan saat ini adalah perasaan yang tidak seharusnya dia miliki. Entah bagaimanapun caranya, Aprillyana harus menghapus perasaannya. Meskipun akan sulit, tetapi dia tidak boleh menyerah.

"Illyana mau ke kamar dulu ya. Mau siap-siap berangkat ke pondok." Aprillyana izin untuk segera ke kamar.

Abi, Ummi, dan Sheina mengangguk seraya tersenyum sebagai jawaban. Aprillyana turut melempar senyum sebelum dia benar-benar berderap meninggalkan meja makan.

Dalam setiap langkah Aprillyana, dia berdoa agar rasa yang dimilikinya terhadap Kapten Ali segera sirna. Rasa miliknya sudah salah tujuan. Jadi, sudah sepatutnya dia berhenti. Hubungan keluarga jauh lebih penting dari segalanya. Akan benar-benar keterlaluan kalau Aprillyana berniat merebut kebahagiaan yang hendak didapat oleh kakaknya. Kakaknya mencintai Kapten Ali dari dulu. Jadi, sudah pasti kakaknya tidak pernah berhenti berdoa agar dia dan Kapten Ali dipersatukan. Sedangkan Aprillyana adalah seseorang yang baru saja mengenal Kapten Ali, atau lebih tepatnya baru bertemu Kapten Ali, dan justru dengan tidak tahu diri dia ingin menjadikan Kapten Ali miliknya. Sungguh, itu terlalu egois.

Aprillyana menghela napas. Dia merasa dirinya terlalu kejam.

Setelah selesai bersiap, Aprillyana segera keluar kamar, dan pamit kepada kedua orang tuanya dan juga kakaknya. Dengan mengajar, Aprillyana bisa melupakan sejenak masalah ini. Masalah yang membuat kepalanya terasa pusing. Dan membuat hatinya mati-matian diliputi perasaan ganjil.

~•~

Rasa sesak mengepul dalam rongga dada Sheina. Terasa begitu sesak, hingga membuat Sheina seakan kehilangan pasokan oksigen untuk sepersekian detik. Sheina menarik napas, menahannya beberapa saat, lalu mengembuskan napasnya perlahan.

Dear Imamku, Aliandra [✓]Where stories live. Discover now