13

5.8K 338 10
                                    

"Man, sebelumnya kamu tahu kan kalau ayah dan papahku itu -- gay?"

Firman ragu menjawabnya. Menatap mataku saja bahkan ia gak berani.

"Aku sih terserah kamu aja, Man."

"El..." Sebulir air mata jatuh dari sudut matanya. "Kenapa kamu baik banget sama aku?"

Kupegang pundaknya. Aku tahu kalau ia dan adeknya udah melalui hari-hari berat bersama ayah tiri mereka. Dan aku juga tahu selain mendapat perlakuan kasar, Firman juga sering menjadi objek pelampiasan seksual ayah tirinya itu. Aku bisa tahu dari hasil visum, dan tentunya dari mulut Firman sendiri, belum lama ini.

"Aku dan adekku hanya bisa jadi beban dimanapun kami berada."

"Jangan berpfikiran kayak gitu, Man." Sahutku.

Waktu mom pergi meninggalkanku untuk selamanya, saat itu aku berfikir, bagaimana kalau orang satu-satunya yang kumiliki saat ini -- Paman Sebastian -- juga meninggal. maka dengan siapa lagi aku akan bersandar, Mencurahkan segala keluh kesahku, dan memeluk jika aku butuh pelukkan seseorang?

"Itu rumah ayah tiriku. Dan aku, juga adekku tidak punya apa-apa lagi sekarang, El."

Kupegang tangannya. Dingin yang kurasakan saat itu. Aku cuma takut kalau Firman akan melakukan hal bodoh dan nekat. Seperti bunuh diri misalnya.

Setelah pulang sekolah, kuantar ia ke rumah ayah tirinya. Mengambil beberapa barang peninggalan ibunya. Namun saat kami tiba di rumah kecil itu, kulihat ada beberapa orang yang sedang mengobrak abrik isi rumah itu.

"Kamu dan ibumu memang pembawa sial!"

"Abang kami pasti sudah terkena guna-guna ibumu!"

"Pergi kau! Kau tidak ada hak di rumah abang kami ini!"

Firman memunguti pakaian dan bingkai foto dirinya dan ibunya. Kulihat ia seperti sedang menahan tangis. Kubantu dia memberesi baju-baju ibu dan adeknya.

"Udah selesai, Man?"

Firman tak menjawab. Ia cuma mengangguk dengan mata basah dan memerah.

"Jangan nangis ya, Man. Aku takut Ilham juga jadi ikutan sedih nanti.."

Saat aku dan Firman sudah sampai di ujung gang, seseorang berteriak memanggil Firman dan datang dengan tergopoh.

"Bu Markum, ada apa?"

"Ini untukmu, Man."

"Apa ini, Bu?"

"Jangan dibuka sekarang! Lebih baik kamu sekarang pergi saja yang jauh!"

"Tapi..."

"Jaga dirimu dan adekmu. Maaf, Ibu tidak bisa membantu banyak."

Ibu paruh baya itu berlari menjauh, lalu hilang di balik pepohonan pisang yang sedang berbuah itu.

"Kakak kok lama?" Suara celotehan Ilham langsung menyambut kami. Bocah itu sejak tadi terus bersembunyi di balik meja kasir minimarket. Aku memang yang menyuruhnya.

"Makasih ya, Mbak -- Mas."

"Iya." Jawab kedua pelayan minimarket itu dengan senyum bingung di wajahnya.

Aku segera memesan taksi online. Karena hari sudah semakin sore, dan sepertinya juga hujan udah mau turun.

"Kak, kita sekarang mau kemana?"

"Kita mau ke rumahnya Kak El ya, Dek."

"Kok kita gak pulang ke rumah aja? Nanti kalo ibu pulang, terus kita gak ada gimana, Kak?"

Ayah&Papa [Finale]Where stories live. Discover now