Part 17

2.7K 317 8
                                    

Author POV

Merry terus meremas jari-jemarinya sendiri. Pandangannya tak lepas dari pintu yang ada di hadapannya. Hatinya begitu tidak tenang , terlebih dirinya masih mengingat bagaimana raut wajah kesakitan Risa.

Ia tidak ingin kehilangan putrinya untuk kedua kalinya.

"Tasya pasti kuat,Mom". Ujar Bima dengan menggenggam tangan Ibunya.

Pintu itu terbuka, seorang dokter segera melepas maskernya dan berjalan mendekati keduanya.

"Pasien terkena usus buntu, kami harus segera melakukan operasi secepatnya".

"Lakukan dok, tolong selamatkan putri saya".

"Mohon segera tanda tangani surat persetujuan dan melakukan pembayaran administrasinya,Bu". Ujar dokter itu kembali.

Bima segera mengikuti seorang perawat untuk mengurus segala administrasi sialan itu. Sementara Ibunya menandatangani beberapa berkas persetujuan untuk melakukan operasi.

Beberapa perawat keluar dengan mendorong sebuah ranjang dimana tubuh Risa tergeletak begitu lemah disana.

Merry tak kuasa menahan tangisnya melihat keadaan Risa.

Ia hanya bisa mengikuti mereka dalam diam menuju ruang operasi.

matanya terpejam sesaat ketika semuanya telah masuk ke dalam ruangan itu,kecuali dirinya tentu saja.

"Maaf mom, Bima lama". ujar Bima yang segera duduk di samping Ibunya.

"operasinya sudah di mulai beberapa menit yang lalu, doain Tasya ya Bim".

Bima mengambil ponselnya. Ia mengetikkan beberapa kalimat yang intinya memohon doa untuk kelancaran operasi Risa malam ini pada sahabat-sahabatnya, tidak peduli mereka sudah tidur atau belum.

Disandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia masih diam menunggu pintu itu kembali terbuka.

Sebuah notifikasi muncul, layar ponselnya pun menyala. Sebuah pesan dari Jay yang menanyakan letak rumah sakit.

Dengan cepat, jari-jemarinya mengetikkan nama sebuah Rumah Sakit yang cukup terkemuka di daerahnya.

"Kamu pasti penasaran kan, kenapa Mommy selalu menghindar dari negara ini?".

Bima langsung menoleh ketika mendengarnya. Ya, iya begitu penasaran sedari dulu. Mommy-nya sangat jarang mengunjunginya, hanya hari-hari special saja Mommy-nya mau pulang ke Indonesia.

Ia merasa itu sebuah pernyataan di banding pertanyaan. Ia hanya bisa diam. Menunggu Mommy-nya bercerita.

"Kamu ingat? Saat Meirista kecelakaan, dan Tasya juga masuk Rumah sakit?".

Kepala Bima mengangguk pelan. Ia tidak pernah bisa melupakan hari itu.

"saat Tasya berumur 6 tahun, ia di vonis mengidap kanker hati".

mata Bima membulat, satu fakta yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya,telah terungkap sekarang.

"Segala pengobatan sudah dilakukan oleh semuanya. Bahkan Ayahnya Tasya sudah mendaftarkannya agar mendapat pendonor. tapi, bukan urutan teratas, masih sangat sulit untuk kami mendapat pendonor dalam waktu cepat". Merry mendongakkan kepalanya, menahan air matanya. "Beberapa dokter sudah memvonis Tasya tidak akan bertahan lebih dari 3 tahun, tapi nyatanya Tasya mampu bertahan lebih dari vonis tersebut".

"Lalu, Tasya berhasil melawan kankernya?".

"Tidak, sampai dia kelas 6 SD , Tasya semakin lemah secara medis. Tepat saat kecelakaan Meirista, Tasya juga masuk rumah sakit. Menurut om kamu, Tasya batuk-batuk dan mengeluarkan darah yang begitu banyak sampai pingsan". Merry menghirup udara dalam-dalam , menetralkan suasana hatinya yang begitu sesak saat ini. "Saat Meirista kritis, Mommy di panggil dokter ke dalam ruangan itu, Meirista nangis saat melihat Mommy, suaranya begitu lemah, tapi.......semua orang yang ada di dalam ruangan itu bisa mendengar dengan jelas kalau Meirista ingin mendonorkan hatinya untuk Tasya".

Someday - DAY6 Onde as histórias ganham vida. Descobre agora