Part 46: Gua Srayuda (1)

345 42 4
                                    


Dun tiba-tiba menghentikan langkah dan mengambil handgun dari sabuk di celananya. Dia lalu melepas magazin dan menggantinya dengan magazin berwarna biru. Tim Jay dan timnya bingung kenapa Dun tiba-tiba berhenti padahal gua srayuda sudah dekat. Dun lalu membidik langit dan menekan pelatuk tiga kali. Tujuh detik setelah suara tembakan, kembang api biru meledak tiga kali di langit pulau srayuda.

"Sinyal untuk siapa? Ada tim lain?" tanya Putra, "Kau memanggil bantuan?"

Dun menggeleng, "Sinyal untuk Beethoven dan rombongannya. Biru berarti manticore sudah dikalahkan. Merah berarti cacing raksasa sudah dikalahkan."

"Kenapa kau tidak memberi sinyal dua puluh menit yang lalu?" tanya Jay, "Tepat setelah kita mengalahkan manticore."

Dun hanya tersenyum, "Aku lupa."

Tim Dun dan Tim Jay kini berjalan ke wilayah utara Pulau Srayuda. Gua yang dibicarakan oleh srayuda yang luka parah tadi ada di bagian utara pulau. Tidak ada rintangan yang mematikan selama berjalan. Palingan hanya sisa-sisa srayuda yang mencoba membunuh para manipulator. Jumlah para srayuda juga sedikit dan serangannya tidak terkoordinasi. Para manipulator cukup mempengaruhi mereka agar kembali ke Ednar. Srayuda yang terluka parah yang berhasil mereka selamatkan. Selain itu jalan menuju ke sana cukup mudah. Sesuai instruksi dari Ednar tadi, cukup ikuti jalan setapak yang diapit oleh batu-batu ukiran khas zaman Majapahit. Mudah bagi Jay untuk mengenali batu-batuan itu. Sebagai seorang Immortal, Jay hidup lebih tua dari zaman Majapahit itu sendiri. Bahkan dia mantan raja terkenal dari Kerajaan Kediri.

"Melihat batu-batunya, berarti bisa disimpulkan bahwa pulau ini bekas kekuasaan Kekaisaran Majapahit," kata Julio.

"Kurang lebih begitu," jawab Jay, "Si ekspansionis gila itu menyerang segalanya."

"Ekspansionis gila??" tanya Andre.

"Mada maksudku. Gajah Mada. Patih gila itu menyerang pulau manusia, pulau hewan mitologi, pulau hantu dan pulau makhluk-makhluk aneh. Apapun yang ada di jangkauan tembaknya akan dia serang. Termasuk pulau ini," jawab Jay.

"Di mana sekarang Mada?" tanya Dun, "Sudah dua tahun aku tidak bertemu dengannya."

"Aku mendengar kabar dia sekarang ada di Los Angeles. Bergabung bersama Departemen Petarung di Guardian. Mengajar bagaimana cara bertempur secara individu hingga tim besar. Lima tahun lagi dia akan kembali ke Departemen Petarung Paladin."

"Apakah wajah Gajah Mada seperti di patung-patung? Berpipi bakpao, gendut dan bengkak?" tanya Putra.

Mendengar pertanyaaan itu, meledaklah tawa Dun dan Jay. Para manipulator junior tentu bingung melihat tingkah para Immortal. Jay lalu menjelaskan pada Putra, "Dia tidak akan senang tiap kali ada seseorang yang membahas hal itu. Wajah Gajah Mada cukup untuk menarik para gadis. Gadis-gadis era Majapahit, era Demak, era pergerakan nasional dan hingga era ini pun tertarik melihat wajahnya. Tapi dia tidak peduli. Dia lebih mencintai pekerjaan dan negaranya daripada wanita. Seorang workaholic dan sangat nasionalis. Mada bahkan lebih nasionalis daripada Bung Karno."

"Jadi dia tak pernah menikah?" tanya Marcell.

"Tentu saja pernah. Total hingga saat ini sudah dua puluh kali kalau tidak salah. Tapi dua belas pernikahan berakhir dengan perceraian," jawab Jay, "Kutanya alasan kenapa bercerai, 'tidak ada wanita yang memahami rasa cinta tanah airku,' begitu jawabnya."

"Kau tidak mencintai tanah airmu, Dun?" tanya Andre yang teringat kisah Dun meninggalkan daratan Cina karena sekarang Cina dikuasai oleh ideologi komunis.

Julio and Black UnicornWhere stories live. Discover now