Part 44: Bianca, Rangga dan Tim Beethoven Versus Mongolian Death Worm (1)

Start from the beginning
                                    

"Benar. Aku lupa nama distriknya. Nama Vietnam ... tahu sendirlah. Jadi susah kuhafal. Lusa aku berangkat ke sana. "

"Lusa??? Lalu kenapa kau ikut misi ini?? Bukankah harusnya kau jaga kondisi agar tidak terlalu lelah??"

"Bianca yang meminta. Apa boleh buat."

"Demi cinta ya."

Rangga terbahak, "Ya. Begitulah. Aku tidak mau terjadi apa-apa padanya. Walau aku tahu dia sudah cukup kuat. Selama aku sempat, aku akan membantu," Rangga mengambil ponsel dari saku dan menunjukkan ke Beethoven.

Rangga menunjukkan dua buah video dan dua puluh foto. Video pertama menampilkan para delapan infected yang berusaha menyerang seorang manipulator. Manipulator itu menggunakan pengendalian api dan membakar para infected. Bukannya mati, para infected malah melaju kencang. Seorang manipulator pengendali benang berhasil membunuh enam dan menangkap dua di sisanya untuk dijadikan sampel. Dua infected itu lalu diseret ke pikep yang khusus untuk menahan para infected. Bagaikan anjing kelaparan, dua infected itu meraung dan menggeram. Tangan-tangan mereka keluar dari sela-sela besi berusaha meraih para manipulator. Beethoven bergidik melihat muka para infected. Darah keluar dari mata, kulit pucat dan mengkerut. Benar-benar mirip mayat hidup hasil dari aktivitas sihir. Video kedua tidak begitu spesial meskipun durasinya tiga puluh menit. Cuma menampilkan keadaan distrik yang sudah kacau balau. Di menit kelima, Beethoven menghentikan video dan melihat dua puluh foto yang lain. Beethoven menaruh tangan di mulut ketika melihat dua puluh foto yang semua adalah proses otopsi seorang infected.

Bianca yang mendengar obrolan Rangga dan Beethoven berkata, "Kalau kau menjadi infected, aku sendiri yang akan membunuhmu, Ngga."

"Oh ayolah," kata Rangga, "Aku terlalu kuat untuk tertular. Sekalipun aku tertular, kan sudah ada penawarnya."

"Terserah apa katamu. Kalau penawarnya hanya kematian, kukatakan sekali lagi, nasibmu akan seperti zombie-zombie di Resident Evil yang biasa kita mainkan bersama."

"Iya, iya," kata Rangga yang mulai melirihkan suaranya, "Bawel."

"Bukan bawel," jawab Bianca yang mendengar suara Rangga, "Aku hanya ingin memelukmu untuk terakhir kalinya."

"Coooooo Cweeeeeetttt!!!!" komentar para murid Beethoven.

"Ya iyalah, Bianca Bloodmoon begitu lho," kata Bianca bangga.

Beethoven mengembalikan ponsel ke Rangga, "Bagaimana perkembangan di sana sekarang?"

"Virus ini menyerang kromosom. Lebih tepatnya kromosom Y. Karena itulah yang menjadi infected kebanyakan laki-laki. Kami juga mengetahui bahwa virusnya memiliki radiasi ...," kata Rangga yang mulai membahas masalah genetika.

Beethoven yang tidak terlalu paham bertanya lagi, "Siapa yang bertanggung jawab atas penyebaran virus ini."

"Dugaan mengarah ke Roberto Salamanca. Black Banquet nomor sepuluh. Tapi itu masih dugaan lemah, sih."

"Dia datang, teman-teman, aku bisa merasakan getarannya." kata Septian yang merasakan getaran di tanah, "Mongolian Death Worm."

Dita menghela nafas, "Syukurlah bukan manticore."

Beethoven mulai mengkomando, "Ciptakan akar-akar, Bianca. Paling tidak kita lebih tinggi dari teman Mongol kita. Setidaknya dua atau tiga meter dari tanah."

Bianca melakukan hal yang diperintahkan Beethoven. Dia merobek kulitnya sendiri dan memercikkan darah-darahnya ke akar-akar pepohonan. Akar-akar pohon itu yang terkena percikan darah Bianca langsung bergerak keluar dari tanah, membesar dan menggeliat-geliat seperti tentakel gurita. Akar-akar itu saling menganyam, menyatu dan mengeras.

"Lindungi aku dulu, teman-teman!!" kata Bianca, "Kubuatkan benteng yang kuat."

"Yap," kata Septian, "Dua puluh meter dari sini."

"Kita tuntaskan si cacing di padang rumput ini. Jangan masuk ke hutan, lari ke pantai, atau sebagainya," kata Beethoven.

Para manipulator bisa melihat gundukan-gundukan tanah terbentuk. Tanda bahwa cacing raksasa dari legenda rakyat Mongolia itu sudah semakin mendekati permukaan. Tanah-tanah terbelah seperti dihancurkan oleh sesuatu yang besar dari dalam. Para manipulator tetap tenang meski sang cacing telah muncul ke permukaan.

Cacing Maut Mongolia itu berdiri seperti ular kobra. Suatu hal yang tak mungkin dilakukan oleh hampir semua jenis cacing. Tidak seperti cacing tanah yang mulutnya tidak terihat jelas, cacing raksasa ini menganga lebar. Bagian terluar mulutnya ditumbuhi oleh empat gigi-gigi besar yang keempatnya tumbuh di empat sudut mulut. Sementara bagian dalam mulut dipenuhi oleh gigi-gigi kecil dan runcing. Semua yang melihat tubuh cacing mongolia ini pasti mengira sedang melihat usus raksasa hidup yang tidur di tengah jalan. Karena memang tubuhnya mirip usus. Bersegmen, berwarna kemerahan dan menjijikkan. Tak banyak bertingkah, cacing itu langsung meludahkan cairan kental berwarna kekuningan.

Sebuah siulan kencang terdengar dari mulut Beethoven. Belum menyentuh manipulator, gelombang suara Beethoven berhasil membuat cairan kental itu bermuncratan ke segala arah. Cairan kental itu tersusun dari asam yang sangat kuat. Percikan-percikannya mampu membuat rumput-rumput melepuh seperti terbakar. Para murid Beethoven langsung menggunakan segenap pengendalian mereka. Septian melapisi tubuh dengan tanah dan Dita melapisi tubuh dengan es. Axel hanya mendengus karena hanya bisa menciptakan bulatan-bulatan air di sekelilingnya.

Septian mengambil bongkahan tanah dan menaikinya. Kini dia terbang dan berdiri di atas cacing. Dia lalu menggumpalkan gundukan tanah dan menggunakannya untuk menempeleng si cacing beberapa kali. Cacing itu kesakitan sambil menembakkan air liur beberapa kali ke Septian. Tapi sia-sia saja karena air liur itu hanya menyentuh bagian bawah bongkahan tanah. Sadar situasinya sulit, cacing itu kembali masuk ke tanah.

"CEGAH DIA!!!" komando Beethoven.

Semua serangan manipulator langsung terfokus ke cacing raksasa. Cacing itu menggeliat-geliat ketika kulitnya dihujani oleh semua serangan. Tapi ternyata dia cukup tangguh. Dia berhasil kembali masuk ke tanah hidup-hidup. Bersamaan dengan berakhirnya serangan, benteng akar sederhana buatan Bianca sudah jadi.

"Sekarang apa?" tanya Dita pada Beethoven.

"Kita naik benteng saja dulu," kata Beethoven, "Naik setinggi mungkin. Aku khawatir cacing itu akan menyerang dari bawah tanah."

"Mirip film tremor ya?" kata Axel.

"Ah, film jadul tentang cacing itu?" kata Dita, "Ya. Tapi setidaknya cacing di film tremor itu tidak menembakkan cairan menjijikkan seperti yang kita hadapi."

Para manipulator sudah berada di bagian tertinggi benteng akar buatan Bianca. Kecuali Septian. Pengendali tanah itu berdiri sepuluh meter dari benteng akar. Kemampuan pengendalian tanahnya membuat dirinya mampu merasakan getaran, langkah, kejaran dan apapun yang menyentuh bumi dalam jarak tertentu. Termasuk merasakan cacing raksasa mongolia yang kini menggeliat di bawah benteng akar buatan Bianca.

"Cacing itu berada di bawah akar buatanmu, Kak Bianca," teriak Septian.

Bianca menyeringai, "Baguslah kalau begitu," dan langsung menyentuh akar yang diinjaknya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Rangga.

"Menyerangnya dengan duri-duri yang imut," jawab Bianca.

"Ya," kata Septian, "Barusan cacing itu meronta. Dan kini dia menjauh dari akar-akar buatan Kak Bianca. Menggali semakin dalam."

"Sekarang apa yang dia lakukan?" tanya Axel.

"Entahlah, dia seperti berputar-putar di kedalaman. Terus dan terus menggali. Kira-kira sepuluh meter dari benteng, Kak Bianca."

"GAWAT!!!" kata Beethoven.

Julio and Black UnicornWhere stories live. Discover now