Dikoridor dekat tangga aku berteriak memanggil Anya dan Ica yang sekarang sudah menoleh kearahku. Aku melambai kearah mereka dan berjalan cepat. Sambil berjalan aku mengikat rambutku asal karena merasa risih.

"Pagi keong racun." Sapaku sambil tertawa kecil tampak bersemangat berjalan bersama mereka.

Mereka berhenti tiba-tiba. Namun aku masih tersenyum menatap mereka aneh. Bukannya menjawab sapaanku, Anya malah menempelkan punggung tangannya dikeningku setelah itu punggung tangannya itu di letakkan di ketiaknya. Membuatku tertawa.

"Nggak panas?" Aku rasa itu adalah pertanyaan.

"Kenapa harus kaget nih bocah seseger ini?  kemarin kan si Alda jalan bareng sama pangeran kodok." Aku melotot kearah Ica yang menyahut jahil, juga secara alamiah pipiku memanas.

"Apaan dah! Sana urusin tuh Affan kesayangan lo." Ucapku mengalihkan pembicaraan. Ica memutar kedua bola mata.

"Lo jauh ataupun nggak, dia sama aja. Nggak peka, gue aja sampai mau sujud-sujud saking gregetnya."

Aku tersenyum tulus, "Lo harus buat dia sadar Ca." Aku menyentuh sebelah bahunya.

"Nggak segampang itu, gue takut Affan  ngejauh. Jadi temen aja gue udah bersyukur kok. Dan lo," Ica menurunkan tanganku, "Lo nggak perlu jauhin Affan demi jaga perasaan gue, gue waktu itu cuman emosi sesaat. Baperan."

Aku tersenyum sambil menggeleng, lalu aku dan Ica menoleh kearah Anya. "Bener Al, lo nggak perlu jauhin Affan. Gue tau lo juga nggak mau kan?" Tanya Anya memiringkan kepala nya.

Aku menggeleng, "Gue biasa aja."

Anya dan Ica menghela nafas, "Affan tanya kabar lo, disaat dia tau kalau dia bisa liat lo disekolah." Ujar Ica santai namun terlihat kalau dia tersenyum kecut. Aku tahu Ica bisa bersikap dewasa dengan berusaha tegar.

Namun, aku yang merasa bisa mengamati tiap gerik seseorang, merasa kalau Ica sebenarnya sangat sedih. Bagaimana tidak, Ica menyukai Affan begitu lama.

"Gue masih ngobrol sama dia, bukannya beneran ngejauh." Ucapku meyakinkan mereka berdua.

"Apa lo lagi jaga perasaannya Aldi?" Anya menyahut dan mengalihkan pembicaraan secara tiba-tiba, aku merengut beberapa saat dan melanjutkan berjalan ke kelas diikuti dengan mereka.

"Kenapa harus jaga perasaan Aldi?"

"Lo nggak suka sama Aldi?" Tanya Anya, aku menoleh kearahnya. Aku terdiam. Aku tidak tahu kenapa aku tidak menggeleng atau segera mengatakan tidak.

Karena tidak mungkin aku menyukai Aldi, aku belum mengenal Aldi sepenuhnya. Tapi, kenapa aku merasa lain, kenapa aku merasa mengenalnya walau bukan begitu kenyataanya? Mungkin aku hanya merasa nyaman saja pada Aldi.

Lantas jantung ini? Entahlah, aku akan bertanya pada guru biologi nanti. Mungkin jantung ini hanya terkejut saja.

Aku menggeleng pelan, "Gue rasa nggak."

"Gue rasa?" Ica membuka suara.

Aku mengangguk, "Iya, gue nyaman aja temenan sama Aldi. Aldi nggak berisik."
Hanya itu yang mampu dijabarkan, selebihnya aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya.

"Lo tau, lo bisa cerita sama kita tentang seluruh perasaan lo." Seru Ica tulus. Aku tersenyum tulus pula kearah mereka. Aku memang sudah memutuskan untuk mempercayai mereka.

"Pasti."

Saat berjalan, aku tak sengaja menolehkan kepalaku tepat kearah pelataran TU. Secara refleks aku berhenti, menyipitkan pandangan. Dan setelah jelas, aku menemukan Aldi dan Joshua?

Semu [Completed]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum