09

1.3K 95 1
                                    


Mengapa tidak merenungi
kesalahan diri sendiri?
Jangan mudah terperangkap dalam kesesatan dunia!

♡♡♡

Aku menatap sedih terhadap penampilanku kali ini. Ingin rasanya aku berteriak pada kaca ruang wakasek yang tak berdosa itu karena telah menampakkan penampakan seburuk-buruknya.

Aku menggeram dalam hati memelas pada Anya dan Ica yang kini menatapku penuh rasa bersalah.
Bukan main memang hukuman yang kudapatkan seumur aku bersekolah.

Aku mendengus keras menatap Bu Hanti yang tertawa geli melihatku karena ulah jari-jari lentiknya yang tak lelah berkreasi bahkan wajah siswa pun tak luput dari perhatiannya.

Aku menatap datar murid-murid lain yang berbisik maupun menertawakan keadaanku dan kami.
"Yang sabar ya Al dan makasih mau belain kita." Ica mengatakannya dengan perasaan tidak enak. Tidak tega melihat raut seperti itu, aku malah terkekeh agar mereka tidak merasa bersalah kembali.

"Santai aja kali. Masa-masa SMA itu harus dinikmati." Aku mengedikkan bahu.

"Daripada kalian mengobrol seperti itu, lebih baik kalian segera melaksanakan hukuman dari saya. Sekarang!" Kudengar suara Bu Hanti kembali membahana di indra pendengaranku.

Kami hanya mengangguk sopan lantas segera pergi melaksanakan tugas. Aku menulikan pendengaran dan penglihatan saat berjalan ke halaman sekolah.

Bagaimana tidak, hidung berwarna merah mawar lalu di bentuk bulat kini menghiasi wajahku karena Bu Hanti memoleskan lipstik disana. Juga dengan ahlinya Bu Hanti menguncir tinggi rambutku disamping kanan dan kiri.

Begitu pula Anya dan Ica yang hanya di coreng wajahnya dengan bedak bayi dengan ketebalan luar biasa. Aku heran, apakah di sekolah lain juga seperti ini bila guru memberi hukuman?

Aku memulai hukumanku memunguti dedaunan yang jatuh dihalaman sekolah dengan satu tangan, sementara tangan satunya digunakan untuk menjewer telinga sendiri begitu juga yang dilakukan Anya dan Ica.

"Dasar guru sadis!" Gerutuku sambil menatap sinis Bu Hanti yang tengah berbincang pada guru lain.

"Tau tuh, nyebelin banget. Kurang kerjaan banget mentang-mentang wakasek." Sahut Ica menyetujui pernyataanku.

Aku menoleh pada Anya yang diam saja, biasanya dia yang akan heboh sendiri atau merengek tidak jelas. Namun tidak sesuai ekspetasi yang kupikirkan, raut berbinar dan bahagia terukir jelas diwajahnya. Anya bahagia karena dihukum?

Aku menatap Ica yang kini sama menatap bingungnya padaku. Aku meneguk saliva pelan, seakan bersiap akan sesuatu yang mengerikan.
"Anya lo-?"

"Nggak bisa dipercaya!" Aku terjungkal kebelakang karena terkejut oleh Anya yang tiba-tiba menoleh kebelakang dengan cepat.

"Seumur hidup gue hidup, baru kali ini gue ngerasa hidup." Menganalisis pikiran Anya itu jauh lebih sulit daripada menganalisis masalah perekonomian mikro maupun makro yang kini sedang giat-giatnya melakukan praktik lapangan.

Anya menjawab dengan senyum lebar namun matanya terlihat menerawang. Baiklah, aku sedikit berlebihan tapi aku lebih takut melihat sikap Anya yang seperti ini malah lebih baik aku melihat tingkah idiotnya setiap hari.

Ica maju selangkah mendekati Anya lalu

Plaakkk

Oh, aku yakin itu pasti sakit.

Seolah mendapat jiwanya kembali, Anya melongo menatap Ica yang baru saja menamparnya lalu sedetik kemudian menjambak Anya keras-keras.

"Lo bego banget! Sakit bekicot!" Anya menyumpah serapahi Ica dengan perumpamaannya. Masih dengan mengusap pipinya sendiri, Anya kembali tersenyum malu-malu seolah insiden yang terjadi hanyalah bualan kecoa yang tidak bermakna.

Semu [Completed]Where stories live. Discover now