14.

864 74 0
                                    

Aku iri pada ayahmu.
Lelaki paling beruntung di dunia.

~ Aldi

Aku berjalan menuju meja makan dengan langkah yang sedikit tergesa karena aku melihat seseorang yang kurindukan tengah duduk disana. Aku mengenyahkan pikiranku dari percakapan mama kemarin dengan dit, yang entah siapa itu. Aku akan bertanya, tetapi nanti ketika aku membutuhkan jawaban.

Aku memandang papa dengan senyum merekah, melupakan kejengkelan ku karena papa seolah hilang tanpa kabar. Benar-benar bang Toyyib.

"Pagi papaku sayang yang always ganteng." Aku memeluk papa yang sedang duduk dimeja. Melingkarkan lengan dan menyenderkan kepala dibahunya.

Papa tertawa, aku melepaskan pelukan ketika papa mengacak rambutku. Membuatku cemberut namun sedetik kemudian tersenyum manis.

Aku mempunyai tekad, membuat papa terpikat dengan senyum mempesonaku jika senyum manis mama tak dapat memikatnya. Hal ini aku lakukan untuk menjerat papa agar betah dirumah.

"Gimana sekolah kamu?" Papa bertanya sambil memakan roti isinya.

"Tumben tanya. Hehe."

"Alda, kamu ya!" Aku menoleh pada mama yang menggeram sambil memelototiku. Aku membalasnya dengan cengiran kuda khas tak merasa bersalah.

Sebenarnya, disamping itu aku mencoba menyindir halus papa. Agar papa peka, atau sebenarnya peka tetapi berusaha terlihat tidak peka?

Papa mengajak kami pindah, tetapi sedari dulu papa jarang ada dirumah. Aku memahaminya sejak aku kecil, sejak teman kecilku pergi barulah hubungan papa dan mama sedikit merenggang.

Aku merasakannya, waktu itu papa menatapku sangat lembut sedangkan ketika menatap mama wajahnya nyaris tidak berekspresi. Papa juga jarang mengajak kami liburan kembali atau sekadar nonton TV bersama.

Aku semakin kesepian saja, aku hanya bersama mama sepanjang hari kalau beruntung sesekali papa akan menelpon, tetapi hanya untuk berbicara denganku.

Saat papa pulang, papa juga tidak banyak bicara. Tetapi, pada suatu malam ketika aku hanya memejamkan mata, aku mendengar suara pintu kamar terbuka. Aku tidak membuka mata, masih terpejam. Lalu aku merasakan ranjangku semakin memberat karena beban disampingku.

Tangannya membelai wajah dan rambutku waktu itu, aku masih terpejam. Aku mendengar ucapan lirih permintaan maaf lalu aku mendengar isakan pelan. Aku tahu itu suara papa. Kenapa papa menangis? Apa yang membuatnya menangis? Aku masih memejamkan mata.

Belaian lembut di rambutku, lama kelamaan membuatku terlelap. Ketika pagi aku tidak mendapati papa disampingku. Setelah itu aku tidak pernah bertanya lagi.

Yang aku kecewakan sampai saat ini, mereka tidak menyelesaikan masalah mereka secara kekeluargaan. Bukannya suatu komunikasi itu penting dalam suatu hubungan? Kenapa mereka tidak melakukan itu?
Kenapa malah menghindar dan tidak menuntaskannya? Dan sekarang apa, anaklah yang menjadi korbannya.

Inilah yang menjadi kekacauan yang semakin banyak terjadi, kebanyakan anak merasa terlantar. Bukan karena orang tua sudah tiada, akan tetapi karena kasih dari orang tua yang tiada.
Banyaknya kemunduran di mental setiap anak, keduanya saling salah menyalahkan. Kilas balik berita.

"Alda makan jangan melamun." Suara papa menyadarkanku dari analisis pagi yang mulai melantur. Memang sudah menjadi kebiasaanku menganalisis kehidupan sosial dan menghubungkannya kembali kepadaku. Aku menghela nafas kemudian duduk disamping papa.

"Papa anter Alda ke sekolah ya?" Aku memasang wajah memelas kepada papa. Entah kenapa ingin sekali aku diantar papa. Hal selanjutnya membuatku tersenyum begitu lebar karena papa menganggukkan kepalanya.

Semu [Completed]Where stories live. Discover now