"Arin nggak bisa janji." Arin masih ragu dengan dirinya sendiri, akan sulit baginya membuat janji apa pun itu. "Ta-tapi Arin akan berusaha untuk itu," Arin tersenyum.

"Baiklah kalau pilihan kamu mengundurkan diri adalah yang terbaik, Ayah ikut," ucap Bagas lalu mencium kening Arin.

Ia pun teringat Dika, "Ayah, Dika masih di bawah?"

"Iya. Ayah panggil dia, ya." Kemudian Bagas meninggalkan Arin dan menyuruh Dika untuk ke kamar Arin.

"Knock, knock, can I come in?" tanya Dika mengetuk pintu yang sebenarnya sudah terbuka.

"Sure," terlihat oleh Dika, mata sembab dan hidung merah Arin. Dika pun ikut duduk di atas kasur Arin. "Dik, maaf ya tadi gue ninggalin elo," ujar Arin.

"Nggak apa-apa, gue tahu kondisi perasaan lo pas tadi," Dika tersenyum sambil mengelus-eluskan punggung Arin.

"Please, jangan cerita ke Rizky atau Tasya soal ini, ya. Cuma lo aja yang boleh tahu," pinta Arin.

"Oke, gue janji nggak bilang," jawab Dika.

Arin pun tersenyum menatap Dika, "Thanks, Dik."

"Nah, gitu dong senyum. Jangan sedih terus."

"Gue udah capek buat nangis, Dik. Perih mata gue setiap hari kayak gini," ucap Arin.

"Then don't, Arina."

Tanpa sadar, Arin menyenderkan kepalanya pada bahu Dika, dengan nafas yang tak beraturan karena tadi menangis. Badan Dika pun membeku akan posisi kepala Arin yang berada di bahunya.

Ingin sekali bagi Dika untuk merangkul dan mengelus kepala Arin, namun ia berusaha menahan diri.

Lalu sejenak, Arin sadar dengan posisinya sekarang. Dengan segera ia bangkit, duuh Rin! Kenapa lo nyender ke Dika, sih? Kasihan Dika, dia bakal susah move on kalo kayak gini caranya, batin Arin menyalahkan dirinya sendiri.

🎹

Satu minggu telah berlalu semenjak pertengkaran dirinya dengan ayahnya. Arin berusaha menyibukkan diri dengan kegiatan sekolah agar ia melupakkan segala hal yang membuatnya sedih.

 Arin berusaha menyibukkan diri dengan kegiatan sekolah agar ia melupakkan segala hal yang membuatnya sedih

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.


Ia juga lebih sering mengurung diri di kamar. Hal itu ia lakukan untuk mengurangi berkomunikasi dengan ayahnya. Arin hanya takut ayahnya akan membahas lagi hal yang mereka debatkan minggu lalu. Arin juga takut ayahnya menyuruhnya untuk bermain piano.

Namun, tetap saja Arin tak bisa membohongi dirinya sendiri. Ia sangat merindukan piano. Akhirnya dari kamar, Arin pun pergi menuju studio musik di rumahnya. Saklar lampu studio musik Arin nyalakan.

Pada dinding studio, terdapat gitar akustik, gitar listrik, dan bass yang tergantung. Arin tersenyum sambil memetik senar gitar akustik dengan asal. Lalu ia menuju rak buku yang berisikan banyak buku musik yang tebal milik bunda.

Arina EllaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora