Aku menoleh kepada mama, mama tersenyum kemudian mengangguk. Tiba-tiba aku teringat ucapan papa dan mama di malam itu. Aku melihat mama dan papa yang sedang khidmat memakan sarapannya.

Apa ini juga bagian dari rencana mereka? Betapa menyedihkannya diriku. Mereka akan akrab ketika ada aku, bagaimana kalau tidak? Rencana mereka tidak membuatku bahagia sekalipun.

Aku menunduk, menyelesaikan makanku dengan perasaan gelisah. Ketika selesai, aku menegakkan kepalaku. Aku melihat papa yang sudah menungguku dan mama yang membersihkan mejanya.

"Udah? Ayo!" Aku mengangguk dan berjalan kearah mama untuk berpamitan. Aku hanya memandang mama sebentar lalu segera mencium punggung tangannya. Aku juga segera pergi ketika mama akan mengelus puncak kepalaku seperti biasa. Aku bisa merasakan jika mama heran terhadap sikapku pagi ini.

Aku berjalan mendahului papa untuk masuk kedalam mobil. Aku menatap jendela ketika papa melajukan mobilnya. Kami, ayah dan anak selama perjalanan tidak mengucapkan sepatah katapun. Aku tertawa miris dalam hati.

Aku melihat keadaan di luar yang tampak lengang karena masih pagi belum sampai terjadi kemacetan seperti biasanya. Aku bersandar pada kaca mobil. Melihat pohon-pohon hijau, melihat aktivitas pedagang yang sudah mulai membuka lapak ataupun manusia-manusia yang berlalu lalang di trotoar.

Ketika sampai dilampu merah yang menandakan kendaraan harus berhenti, aku masih setia menoleh ke jendela sebelah kiri. Lalu aku terkejut melihat sepeda motor sport hitam berhenti tepat di samping mobil yang kutumpangi. Aku memerhatikan pengendara yang memakai helm full face dan jaket hoodie hitam.

Aku tampak mengenali siapa pengendara itu, apalagi aku juga tahu kalau dia pasti siswa SMAN 02 Gemilang dilihat dari celana hitam khas hari kamis.

Pengendara itu membuka kaca helm dan hanya menampakkan mata serta hidung mancungnya. Lalu dia menoleh kearah kanan, tepat sekali kepada mataku.

Aku menahan nafas karena mengenali seseorang itu walau hanya dari matanya. Aku mengalihkan pandanganku darinya cepat-cepat. Lalu kulihat dia melajukan motornya mendahului ketika lampu disana sudah berubah warna menjadi hijau.

Aku masih merasakan bahwa yang disana berdetak terlalu keras. Aku memejamkan mata dan menyenderkan kepala ke kursi mobil. Lelah.

Huft.

********

Aku membuka mata ketika mobil papa berhenti. Aku menoleh dan tersenyum tipis kepada papa. Aku mengulurkan tangan hendak berpamitan.

"Alda nggak mau peluk papa?" Ucapan papa membuatku terdiam untuk beberapa saat. Lalu langkah selanjutnya adalah ketika aku meraih papa dan papa yang balas meraihku. Ingin sekali aku bertanya dan menangis, tapi aku tahu ini bukan saatnya.

"Alda sayang papa."

"Kamu udah besar masih aja manja." Papa terkekeh sambil membelai rambutku. Aku ikut terkekeh. Aku memang manja bukan?

"Biar uang jajannya lancar."

Papa tertawa, aku masih betah memeluk papa sampai papa sendiri yang melepaskan pelukan kami. "Alda."

Aku mendongak menatap papa. Ah, aku pendek juga.

"Papa juga sayang Alda! Papa mau Alda jadi anak yang pintar dan nggak mudah menyerah. Jangan lupa tanggung jawab Alda. Papa nggak mau anak papa ini jadi anak yang cengeng. Papa ini semakin tua, nggak bisa jagain Alda selamanya."

Ucap papa itu membuatku termenung. Ucapan papa mampu membuatku berpikir keras. Papa memang terlihat seperti menasehatiku tetapi disisi lain juga ada makna yang tersirat.

"Papa bilang Alda nggak boleh cengeng, tapi papa bilang gitu sama aja suruh Alda cengeng. Sekarang Alda beneran mau nangis." Aku mencebik seperti ingin menangis, kenyataannya memang aku ingin menangis.

"Papa nge tes."

Aku tertawa, "Papa minta maaf juga atas tindakan papa selama ini yang terlihat mengabaikan kamu. Papa punya alasan."

"Alda sering kangen papa kalau papa nggak pulang-pulang. Papa sering-sering dirumah ya!" Aku berujar lirih sambil menunduk.

"Papa nggak kerja dong? Kalau kamu mau jajan gimana?" Papa terkekeh dan mengacak rambutku.

"Ya kerja, tapi jangan kayak bang Toyyib juga." Aku cemberut bersidekap dan papa hanya tertawa lagi.

"Yaudah sana turun. Liat udah mulai rame tuh sekolahnya!" Aku mengedarkan pandangan kesekeliling lalu mengangguk pada papa. Aku meraih tangan papa dan menciumnya.

Aku turun dari mobil dan melambai sejenak pada papa lalu berbalik ketika mobil papa sudah melaju kembali.

Ya Tuhan jadikan ini suatu awal yang baik untuk kami. Aku percaya padamu dan berusaha mengerti hikmah suatu takdir atas rencanamu.

*******

Aku terus berjalan sampai dikoridor aku berjengkit mundur karena kaget melihat seseorang disana. Dia memasukkan kedua tangannya didalam saku.

Kesialan apalagi yang akan aku dapatkan kali ini? Aku berusaha mengenyahkan dia dari pikiranku. Aku merasa tenang dan gelisah disaat bersamaan karena tidak melihatnya. Entah, aku juga heran kepada diriku sendiri yang merasa gelisah ketika tidak melihatnya. Kenapa harus gelisah? Tapi sekarang, dia ada didepanku melihatku dengan mata teduh yang menenangkan itu. Aku juga masih gelisah.

Aku menyadari beberapa pasang mata mulai melihat kami. Aku mendengar bisikan-bisikan penggosip yang mencaci karena aku dapat dekat dengan pujaan mereka yang tidak tersentuh itu.

Cih, tidak tersentuh apanya?

Aku hanya menatapnya datar sedikit mendongak karena aku yang hanya sebatas dadanya. kemudian beringsut segera pergi. Namun, lagi dan lagi jari-jariku dicekal olehnya. Aku berbalik tapi, ternyata dia tidak menatapku. Bagaimana bisa pas ya? Bodoh sekali!

Dia menarikku kedepannya. "Lepasin!" Aku menatapnya tajam. Dia hanya tersenyum manis sampai aku mendengar suara-suara pekikan.

"Lo terganggu sama adanya gue?" Aku menaikkan sebelah alis. Lalu menyeringai samar.

"Iya, gue sangat terganggu." Dia melepaskan cekalannya dijari tanganku. Syukurlah kalau tidak, kepalaku akan pecah karena selalu dilemparkan kepada masa lalu.

"Tapi, biasanya lo selalu keliatan bahagia kalau ketemu gue. Dan sekarang... beda." Aldi mengucapkan kata-kata yang membuatku mengernyit, namun matanya kosong, terlihat menerawang.

Ha? Maksudnya?

"Maksud lo? Gue seneng gitu tiap liat lo?" Aku menaikkan sebelah alis dan Aldi hanya menatapku.  

"Kayak nya lo salah mengartikan tatapan susah gue ketika liat lo, lo kira gue seneng?" Aku tertawa mengejek kepadanya tidak peduli ucapan cacian yang semakin sinis menggema di telingaku.

"Sebenernya gue mau bilang, gue iri sama yang nganter lo kesini." Setelah mengatakannya, Aldi langsung berbalik dan meninggalkanku dengan aku yang masih bingung dengan maksudnya.

Aku semakin menautkan alisku, bingung terhadap setiap ucapan yang ditujukan padaku. Apa maksudnya Aldi iri terhadap mobil ayah? Tidak mungkinkan iri kepada ayah? Pasti mobilnya.

Tapi, itukan hanya mobil avanza hitam biasa, bukan mobil sport seperti motornya. Apa yang harus di irikan?

Oh ya, aku merutuki diriku sendiri, boleh saja aku terlihat ketus ataupun jahat dimatanya, tetapi aku tidak akan berbohong jika jantungku mengatakan sebaliknya. Huh, denyutnya menyenangkan. Tetapi orang yang membuat berdenyut begitu menyebalkan.

________________________

Terimakasih sudah membaca cerita ini,  semoga suka yaaaa, 😍
Oh ya,  dukungan dari kalian lho yang akan membuat aku terus semangat untuk melanjutkan dan membuat cerita-cerita baru
Jangan lupa vote dan comment kawan-kawan! 😊

Menerima kritik dan saran apapun, walaupun isinya cacian😂 ups, just kidd

Follow ig aku juga ya. Hehe

Ig : novitas33

Semu [Completed]Where stories live. Discover now