"Gaje."

"Sini dulu!"

Dengan ogah-ogahan aku duduk disampingnya. Menggoyang-goyangkan kakiku sambil bersiul pelan.

"Gue mau lo ngajarin nyanyi dong!" Aku menoleh kepada Aldi setelah dia berucap demikian. Aku menaikkan sebelah alisku.

"Kenapa gue? Ogah."

"Biar bisa duet sama lo. keliatannya keren lho." Ucapnya santai.

Deg

Lagi dan lagi. Apa ini yang namanya kebetulan, berulang, tetapi bagaimana bisa? Atau ini semua yang namanya kebetulan tersengaja. Tapi siapa, dia kah atau Tuhankah?

Aku menatapnya lama, berusaha membaca matanya dan lagi, aku harus mengutuk diriku sendiri karena terlena akan keteduhan matanya yang membuatku semakin tersesat didalamnya.  Astaga, kalau ini berlanjut maka aku akan menangis detik ini juga.

"Gue mau kekelas. Thanks buat jaket dan kebersamaan kita semalem dan gue harap setelah ini, kita nggak saling ketemu lagi. Nggak sama sekali." Usai berujar seperti itu, aku benar-benar berlalu pergi. Tanpa berharap dia mencekal jariku lagi, dan itu benar terjadi.

Ketika aku mendekat maupun menjauh rasanya sama saja. Dunia berputar semakin cepat dan aku berjalan semakin lambat. Aku sampai merasakan tatapannya menghunus punggungku menembus jantungku. Aku meninggalkan tempat itu, tetapi membawa bulir air mata.

Setelah ini, aku tak mengenalnya lagi, dia semakin menjerumuskanku, kepada masa lalu

*******

Aku kembali duduk dibangku ku sendiri setelah melewati Affan yang memandangku penasaran namun kuabaikan. Aku sempat tersenyum tipis pada Anya dan Ica yang juga sama menatapku penasaran.
Aku mendesah pelan setelah kubaringkan kepalaku dilipatan tangan yang kutumpukan pada meja.

Memori terus menari-nari dalam benakku, memperlihatkan momen-momen disana, memperdengarkan suara-suara yang terdengar mengalun indah, tapi pada detik selanjutnya mengalunkan kesedihan mendalam.

Aku memejamkan mata rapat-rapat, terasa berdenyut jantungku semakin bertalu. Aku menahan panas dimataku yang siap meleleh. Aku bernafas sepelan mungkin agar tidak menimbulkan tanya,  karena aku tahu pasti Anya dan Ica tengah memandangku.

Kurasa mereka memang tahu bahwa aku butuh sendiri, menenangkan diri bahkan hati.

Semua memang salahku, harusnya aku tidak mengenal Aldi, seharusnya aku tidak menangis saat itu. Seharusnya aku tidak menemaninya menikmati malam itu. Seharusnya aku hanya mengembalikan jaketnya tanpa mau mengikutinya. Seharusnya-

Banyak kata seharusnya yang kupikirkan. Namun, yang terjadi sudah terjadi. Dan tidak ada kata seharusnya, karena kata itu tidak akan mengembalikan semua seperti sedia kala.

Aku tetap membaringkan kepalaku, sepertinya benar kata Aldi, tidak ada jam pelajaran efektif lagi.

Aldi lagi?

Aku menghela nafas, karena tahu yang sedari tadi panas, tumpah juga. Aku berusaha tidak menimbulkan gerakan dan suara berlebihan.

"Lo kenapa?" Aku mendengar suara berbisik di telinga kananku. Aku menahan nafas lalu menggeleng.

"Masih hidup?" Kembali lagi Affan bertanya, aku hanya menjawab dengan anggukan tidak perduli.

Akhirnya, Affan tidak mengganggu lagi, lama aku masih merenung, tiba-tiba aku merasakan ada seseorang yang mengelus rambutku pelan. Aku membuka mata namun tetap dengan berbaring, tidak berniat melihat siapa yang melakukannya.

Semu [Completed]Where stories live. Discover now