Berkeliling Kota

Depuis le début
                                    

"Nggak. Kamu dengar, ya?"

Aku menggangguk sementara itu kakak bergidik takut padahal masih siang.

Memang suasana saat itu sepi. Tidak ada kegiatan apapun hanya tukang kebun dan beberapa orang saja. Tampak samar tapi nyata aku melihat beberapa penampakan noni - noni Belanda masuk ke gedung itu sambil membawa payung dengan tertawa bersama teman - temannya. Aku juga melihat beberapa orang Belanda juga ikut masuk ke gedung itu dengan memakai jas berwarna hitam dan ada yang membawa tongkat di tangan kanannya.

Sayang sekali kami tidak bisa masuk meskipun hanya sekedar melihat dari luar. Aku yang dasarnya ingin tahu tetap saja berdiri di luar sambil menikmati semilir angin. Sebenarnya bukan menikmati anginnya tetapi alunan musik dari dalam gedung itu. Aku yang pada dasarnya bisa 'melihat' di dalam gedung dari luar tanpa sengaja bisa melihat mereka berdansa, bersenda gurau dan menikmati makanan. Aku rasa mereka menikmati pesta meskipun mereka sebenarnya sudah tiada.

"Kamu mau masuk?"

Tiba - tiba saja aku di undang masuk oleh seorang wanita berambut sebahu di depanku.

"Tidak. Kami di sini saja."

Aku berbicara kepadanya di dalam hati agar kakak tidak mendengar. Cukup lama dia berdiri di depanku lalu menghilang begitu saja.

Akhirnya setelah cukup lama kami berdiri kami memutuskan pergi jalan - jalan lagi menuju tempat ibadah yang terkenal di kota Probolinggo. Namanya Gereja Merah. Siapa yang tidak tahu tempat ibadah yang satu ini? Masyarakat Probolinggo pasti mengetahui tempat itu.

Saat kami berada di depan gereja tersebut kami tidak masuk ke dalam hanya berada di luar saja

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

Saat kami berada di depan gereja tersebut kami tidak masuk ke dalam hanya berada di luar saja. Di tempat aku berdiri bisa mendengar suara nyanyian gereja yang syahdu tetapi tidak ada kegiatan ibadah sama sekali. Tempat ini tidaklah menyeramkan. Semua bangunan masih berarsiktektur Belanda. Semua tempat di bagian dalamnya masih seperti dulu tidak ada yang berubah. Sayang kami tidak bisa boleh memfoto tempat ibadah ini hanya untuk tujuan tertentu.

Perjalanan kami selanjutnya yang tak kalah membuat aku sport jantung adalah rumah semasa kecil kami. Kata kakakku ingin ke sana rumah kenangan bersama papa.

Rumah yang kami tempati di tahun 90-an sebelum papa meninggal sekarang di huni oleh sebuah keluarga dengan ayah, ibu dan dua anak lelakinya yang masih kecil. Masih ingat jelas kenangan yang tak terlupakan di rumah itu. Pertemuan pertamaku dengan Bu Tin dan Pak Toh dan mendengar suara burung gagak yang menjadi firasat kepergian papa untuk selamanya.

Kami tidak berani masuk dan menyapa pemilik rumah itu takutnya kami di anggap aneh. Akhirnya kami hanya melihat dari depan rumah tetangganya. Tidak ada yang berubah bentuk rumah ini dari luar maupun dari dalam. Saat kakakku sedang asyik berbicara dengan tetangga sebelah rumah tersebut, aku melihat melalu mata bathin jika bentuk rumah itu tak ada yang berubah hanya saja tata letaknya saja.

"Hai Hana lama tidak bertemu."

Ada tepukan halus dari arah belakang di pundak. Aku langsung bisa merasakan hawa dingin yang menyergap dan sentuhan tangannya membuat bulu kuduk merinding. Aku tahu siapa yang telah menepuk pundak. Aku menoleh dan mendapati seorang wanita berkebaya putih dan hijau dengan rambut yang disanggul sedang berdiri di belakangku sambil tersenyum.

Untung wajahnya tidak menyeramkan meskipun terlihat pucat pasi tapi hal itu tak membuatku takut karena aku tahu siapa dia.

"Lama juga tidak bertemu," sahutku dalam hati agar tidak terdengar.

"Kamu merindukan rumahmu?"

Aku menggangguk seraya melihat dia melayang melewatiku dan tembus ke dalam rumah lama. Sebelum dia benar - benar menghilang di hadapanku. Dia menoleh ke arahku dan tersenyum.

Aku tidak pernah tahu siapa namanya dan hanya tahu jika dia telah 'menempati' rumah lamaku cukup lama jauh sebelum kedatanganku. Pertama kali mengenalnya saat mama membuka pintu rumah ini untuk pertama kalinya. Aku yang masih kecil waktu itu dan tidak bisa membedakan mana yang nyata atau tidak malah mengajaknya bermain. Sungguh kukira dia adalah teman nyataku tapi seiring berjalannya waktu menyadari jika dia berbeda denganku. Mama dan papa tak bisa melihat atau merasakan kehadirannya.

Dia tidak pernah mengganggu keluargaku atau mengusili kami. Seperti pada masa hidupnya, dia melakukan hal - hal yang menurutku tak biasa. Dia duduk bersimpuh jika aku berbicara dengannya. Dia akan menundukkan kepalanya jika berhadapan dengannya. Aku merasa dia adalah hantu yang sopan yang pernah aku jumpai selama ini.

Mereka yang pernah aku temui di masa kecil masih ada di rumah lama itu. Ada pocong, ada gadis kecil berkepang dua dan wanita yang tadi melewatiku. Mereka semua melambaikan tangan agar aku mau mengikuti mereka masuk ke dalam rumah. Tentu saja aku tidak mau. Untuk apa? Bermain bersama lagi? Tidak mungkin karena rumahku bukan di sana lagi.

"Sampai jumpa lagi, Hana."

Mereka melambai - lambaikan tangannya mengucapkan salam perpisahan saat aku dan kakak pergi dari rumah itu.

*****

Ini ada pengalaman yang nyata sebelum kami pulang menuju rumah naik kendaraan umum. Karena turun hujan dan kami tidak membawa payung akhirnya berteduh di warung milik seorang ibu. Waktu itu aku sedang berdiri sambil nunggu angkot lewat. Saat itu juga seperti mencium bau harum bunga dari dalam rumah ibu pemilik warung. Aku sangka bau bunga dari pekarangannya karena si ibu menanam berbagai bunga termasuk bunga melati.

Semakin aku merasakan baru tahu jika bau yang kucium bukanlah melati melainkan bau kamboja. Kakakku hanya mencium bau melati.

"Kak, tidak mencium bau kamboja?" Aku jadi seperti kucing yang mengendus bau.

"Tidak. Aku malah cium bau melati."

Dugaanku benar ada seseorang dari dalam rumah ibu ini. Mungkin si ibu dari ibu warung tersebut datang melihat anaknya. Aku tahu jika nenek itu saja baru meninggal. Kata orang kuno dulu jika ada yang meninggal maka mereka masih di dalam rumah itu selama 40 hari akan tetapi jika mereka tak pergi dari rumahnya maka ada keperluan yang harus di penuhi.

Aku tak berani menanyakan kepada ibu warung ini karena takut membuat tersinggung. Aku tahu dari nenek yang cerita.

"Nenek belum bisa. Kasihan anak nenek."

"Tidak apa - apa, Nek. Jika nenek sudah waktunya pergi. Pergilah, nek."

"Nanti, Nak. Jika waktunya sudah tiba."

Aku tak melanjutkan percakapan dengan nenek karena kakak sudah menemukan angkot yang akan mengantarkan kami pulang. Di dalam angkot aku masih melihat nenek itu melambaikan tangan ke arahku, tersenyum sebelum akhirnya masuk kembali ke rumah anaknya.

Seharian menikmati jalan - jalan kami di kota ini memberi kesan tersendiri untuk aku. Melihat mereka yang masih tetap menjadi penghuni rumah lama sampai melihat banyak noni Belanda yang tidak menyadari jika sebenarnya mereka sudah tiada.

Tbc.....

Sudah pernah berkunjung ke Museum? Merasakan hal2 yang membuat bulu kuduk merinding?

Hana nanti mau cerita kunjungan ke museum yang di ikuti oleh 'mereka' sampai ke rumah.

15 Februari 2018

Hana's Indigo (True Story) ( Repost Ulang Sampai Tamat )Où les histoires vivent. Découvrez maintenant