Juminten Dan Wachid

41.2K 3.4K 174
                                    

Sekolahku terletak di belakang kantor polisi. Di belakangnya ada asrama polisinya juga. Kalian tahu bukan? Jika seorang polisi memiliki asrama? Sekolah ini hanya ada 5 ruangan. 2 kelas untuk TKA 1 dan TKA 2. 2 kelas untuk TKB 1 dan TKB 2. 1 ruangan kepala sekolah dan guru.

Setiap kelas terisi 10 anak dengan dua guru. Jika kalian pernah bersekolah TK pasti kalian tahu ada kegiatan bernyanyi, kan? Aku paling tidak suka jika bernyanyi sendirian atau bersama-sama temanku. Bukan karena suaraku jelek, tetapi ada yang 'ikut' bernyanyi di sudut tembok belakang.

Okelah jika suaranya merdu, pasti akan kudengar. Kalau yang ini suaranya bergema, parau dan ada sedikit penekanan. Aku masih ingat pernah disuruh bernyanyi oleh ibu guru.

Aku berdiri di depan kelas. Di belakangku ada papan (papannya masih hitam dengan menulis pakai kapur). Di sebelah kiri sebelum pintu masuk ada bendera. Di sebelah kanan ada meja guru. Nah, anak yang ikut bernyanyi itu ada di belakang meja guru.

Dia putih dan hampir setinggi diriku. Rambutnya sebahu, usianya sama denganku--itu perkiraaanku dan wajahnya yang pucat pasi.

"Lihat kebunku penuh dengan bunga..."

"Ada yang putih dan ada yang merah..."

Aku mendengkus kesal lagu kesukaanku diikuti oleh dia yang tak tampak.

"Diam!" Aku marah karena kesalnya dan membuat semua mata menatap ke arahku.

"Ada apa Hana? Kamu nggak suka temanmu ikut bernyanyi?" tanya ibu guru menghampiri.

"Bukan seperti itu, Bu. Dia mengikuti bernyanyi." Aku menunjuk ke arah meja ibu guru

Ibu guruku tentunya mengernyitkan dahi. Beliau tak tahu apa yang aku katakan.

"Sudah jangan bernyanyi lagi. Hana duduk saja, ya."

Untungnya ibu guruku mau mengerti. Ketika aku hendak duduk di bangku. Anak yang ikut bernyanyi malah langsung pergi menembus dinding.

Sudah menjadi kebiasaan anak yang tak tampak itu selalu ikut bernyanyi jika anak-anak disuruh bernyanyi oleh guru kami. Menyebalkan, bukan? Jika kami tidak ada kegiatan bernyanyi. Dia akan tetap di sana berdiri mematung menatap ke penjuru kelas.

Sewaktu-waktu dia menghilang. Entah ke mana. Tiba - tiba sudah muncul kembali.

****

Pada tahun 1996 saat aku sudah masuk kelas TK B. Jam pulang semakin siang. Guru dan kelaspun letaknya berbeda. Nah di kelasku yang TK B ini di bagian belakangnya ada pohon pisang dan ada halaman belakangnya. Jangan ditanya penampakan apa saja yang berada di halaman belakang. Selain anak yang sering ikut bernyanyi. Masih ada lagi seorang wanita berambut panjang.

Sebenarnya hingga kini aku penasaran dengan sosok hantu perempuan rambutnya panjang. Jarang aku menjumpai hantu yang rambutnya pendek.

Oh, ya kembali ke hantu wanita itu. Wanita itu menatap satu arah. Memandang sendu ke arah keluar. Dia memang tidak menganggu tapi wajahnya itu yang menatap kelas kami yang membuat aku merinding sendiri. Sekali lagi aku abaikan saja pemandangan yang menakutkan tersebut.

"Hana, lihat ke sini jangan menoleh ke sana." Ibu guru menyadari jika sedari tadi aku melihat ke arah halaman belakang.

"Apa yang kamu lihat di sana sampai ibu memanggilmu tidak dengar?"

"Bu, ada wanita di pohon pisang terus lihat ke arah kita." Dengan polosnya aku menjawab tanpa tahu jika ibu guruku wajahnya sudah pucat dan takut. Segera ibu guru menutup jendela yang menghadap ke halaman belakang dengan gorden esok harinya.

Semakin usiaku bertambah. Penglihatan yang aku dapati semakin kelihatan nyata. Terkadang tidak bisa membedakan mana yang manusia atau mereka yang tak terlihat. Mereka itu menyerupai wujud manusia meskipun wajah mereka pucat. Jika dulu waktu aku masih kecil yang kulihat mereka seperti tembus pandang tubuhnya.

Hana's Indigo (True Story) ( Repost Ulang Sampai Tamat )Where stories live. Discover now