19. With him.

139 9 0
                                    


"Bertatap tapi tak saling sapa. Diam-diam memendam rasa."


Kekesalan Rendi sudah memuncak. Bukan hanya karena Santi yang memutuskannya, menolaknya, melainkan karena kenyataan bahwa Santi benar-benar ingin menarik diri menjauh dari kehidupannya.

"Tapi, pak, apa bapa gak bisa bikin dia tetep jadi guru les saya? Kenapa bapak gak larang dia buat gak ngundurin diri,"

Pak Iwan menghela nafasnya. "Bapak apresiasi nilai-nilai kamu sekarang, cukup bikin bapak puas. Itu semua karena Santi'kan? Tugas dia sudah bagus, jadi jangan salahkan bapak biarin dia ngundurin diri."

Rendi menendang meja, menatap pak Iwan resah. "Bapak gak nahan gitu, atau paksa dia lagi, atau apa kek pak,"

"Gini ya, harusnya kamu intropeksi diri. Bapak yakin, Santi ngundurin diri karena kamu itu bandel. Bapak udah tahan, tapi bapak gak bisa maksa dia." pak Iwan mencondongkan tubuhnya kedepan, tangannya bertumpu pada meja. "Bapak udah nyari siswi lain-"

"Gak!" Rendi berdiri. "Kalo bapak suka sama perkembangan nilai saya, tolong pertahankan Santi tetep jadi guru saya." setelah itu, Rendi keluar ruang sesak itu.

Langkahnya tergesa menuju kelas, mencari cewek itu. Setibanya disana, yang dia dari tidak ada. Yang di dapatkan malah tatapan bingung dari teman-teman sekelasnya. Rendi melangkah menuju perpustakaan, dan langkahnya tidak salah ketika disamping pintu ada sepasang sepatu cewek itu. Dia bergegas masuk dengan masih memakai sepatu, mencari keberadaan Santi kesetiap sudut perpustakaan.

Lalu langkahnya terhenti, bahunya berjumbai lemah, nafanya yang semula memburu perlahan-lahan kembali normal.

Dipojok sana, Santi tengah duduk dengan telinga tersumpal earphone, kepalanya jatuhnl bersandar pada dinding. Sedangkan tatapannya lurus mengarah ke depan. Rendi menghampiri, duduk didepan cewek itu.

Santi menyadari itu. Dia berdiri tegak, melepaskan earphone lalu menatap Rendi bingung.

"Rendi,"

Rendi memilin tangannya diatas meja bulat yang menjadi penghalang keduanya. "Gue-," Rendi menggeleng. "Aku mau ngomong sebentar sama kamu, boleh?"

Sejak kapan Rendi bertanya jika ingin melakukan sesuatu? Santi benar-benar ingin tersenyum saat ini.

"Aku sadar sekarang, kalo aku salah. Aku gak seharusnya masuk ke dalam dunia kamu, aku seharusnya jadi Rendi yang biasa-biasa aja saat liat kamu." Rendi menatap lekat mata itu. "Tapi aku gak bisa, San,"

"Rendi,"

"Aku udah tau, kamu ngundurin diri jadi guru les." Rendi mendesah. Dia mengusap kepalanya kasar. "Kenapa harus gini, San? Aku gak akan minta kamu balik, dan gak akan bahkan maksa lagi. Tapi, apa emang segitu nyesel kenal sama aku?"

Santi tidak bisa membohongi hatinya, seolah-olah dia baik-baik saja dengan keadaan seperti ini. Kehadiran Rendi, adalah obat atas kesendiriannya selama yang dia rasa selama ini. Bersama Rendi adalah sebuah kebahagian nyata. Dan, kehilangan Rendi adalah sebuah kepahitan fiksi yang tidak mampu dia percayai.

Sesuatu mendorong ingin keluar, tapi dia cukup kuat untuk menahannya.

Kediaman Santi, membuat Rendi resah. Dia ingin memaksa Santi berbicara. Rendi menjatuhkan tubuhnya kesadaran kursi dengan posisi kepala yang mengarah pada atap-atap. "Aku gak mau belajar kalo bukan kamu yang ngajarin, aku gak mau makan kalo bukan yang nyuapin." Rendi kembali menatap Santi. "Aku bisa apa kalo kamu bener-bener berhasil menejauh?"

Rendi menundukan kepalanya, bertopang pada tangannya yang dia taruh diatas meja. Berharap, dia mendengar Santi mengatakan sesuatu yang bisa membuatnya sedikit bernafas lega, meski kenyataannya Santi tetap saja memilih diam.

ELSAWhere stories live. Discover now