15. Decision.

112 9 0
                                    

"Mungkin ini jalan terbaik, karena hidup tidak pernah adil," - Santi.

Begitu kakinya menginjak lantai kelas, lagi-lagi tatapan yang sama ketika dia berjalan di koridor kelas dia terima. Semua orang didalam kelas memberikan tatapan aneh padanya, tak kala dari mereka berbisik-bisik mengenainya yang pagi itu memakai jaket.

Santi menundukan kepalanya, melanjutkan langkahnya menuju tempat duduk.

"San," Lucy menatapnya heran, ketika dia sudah duduk disamping cewek itu. Lucy mengernyit. "Lo gak lagi sakit, deman, atau apa kan? Lagian cuaca pagi ini gak terlalu dingin, lo kok pakek jaket. Gak takut di marahin sama guru?"

"Hm," Santi melirik Lucy sekilas. "Saya lagi gak enak badan,"

Bel masuk berbunyi bersamaan dengan Destia masuk kedalam kelas. Santi hanya menatap cewek itu sekilas, sebelum Rendi dan Rizky menyusul dari arah belakang. Santi menatap Rendi. Ada kecemasan juga sesuatu yang mungkin ingin dipertanyakan Rendi.

Santi memilih memutuskan kontak mata itu lebih dulu. Dia menunduk ketika Rendi berjalan menuju tempat duduknya yang berada dibarisan belakang mejanya.

Pelajaran berjalan dengan lancar seperti biasa. Guru mata pelajaran menegur Santi karena memakai jaket didalam kelas, tapi karena Lucy mengatakan bahwa Santi sedang tidak enak badan, guru mata pelajaran memaklumi dan bahkan menawari Santi untuk beristirahat di UKS.

Santi menolak. Dia takut sendirian. Setidaknya, menghalau kejadian tadi terulang.

Selama pelajaran berlangsung, Santi tidak fokus sama sekali. Bahkan, ketika Lucy meminta membantunya mengisi jawaban soal, Santi mengeluh tidak paham.

Dia masih terkejut.

***

"San, kalo lo masih sakit dan gak kuat sekolah mending diem aja dirumah. Jangan sekolah, nanti demam lo tambah parah."

Santi mengangguk ditengah-tengah aktivitasnya membereskan alat-alat tulisnya. Memasukannya kedalam kelas.

Masih ada beberapa orang didalam kelas, termasuk Rendi dan Destia.

Santi mengendus. Da bergegas memakai ranselnya, berdiri lalu siap keluar dari kelas. Sebelum dia mencapai pintu, Destia sudah lebih dulu keluar kelas dengan mata yang mendelik ke arahnya.

Kakinya berhenti, bersamaan dengan tarikan pada ranselnya. Santi menoleh, ketika tahu bahwa Rendi ada dibelakangnya, dia menunduk menatap sepasang sepatunya. Dia tidak berani menatap sepasang mata hitam itu.

"Gue gak terima sama keputusan lo," kata cowok itu datar. "Liat gue Santi,"

Santi menelan ludahnya. Dia ingin menangis, memeluk tubuh didepannya, mengatakan bahwa sesuatu telah terjadi. Tapi, lidahnya kelu. Nyalinya ciut untuk berkata yang sejujurnya. Dan dia memilih jalan itu, menghindar.

Rendi mengeraskan rahangnya. Dia mencoba menahan emosi yang tiba-tiba saja muncul kepermukaan. Dia ingin berteriak, meminta dengan paksa penjelasan tentang kejadian tadi pagi pada cewek itu. Dia cemas, dia takut hal buruk menimpa Santi lagi.

Rendi menghembuskan nafasnya kasar. Tangannya terangkat, bertumpu di bahu Santi. Dia mengguncang bahu itu pelan. "San. Gue emang bandel, tapi gue beneran sayang sama lo. Kalo ada sesuatu yang salah dari gue, omongin, jangan lo pendem dan ngambil keputusan sesuka lo."

ELSAWhere stories live. Discover now