1. Fighting.

591 17 4
                                    



Hari itu siswa berkerumun disekitar koridor kelas Xii ipa 2. Santi yang saat itu baru saja kembali dari perpus dan berniat untuk ke kelasnya mematung begitu melihat akses jalan menuju kelasnya tertutupi.

Sembari memeluk laptopnya Santi berdiri gelisah jauh dibelakang kerumunan. Sebenarnya hal seperti ini tidak asing lagi di sekolah, tapi kerumunan didepan kelasnya tentu saja itu adalah hal yang baru bagi Santi.

Karena di sekolah Nusantara, masalah sekecil apapun bisa jadi penyebab pertengkaran antar siswa.

Santi menduga, bahwa saat ini ada pertengkaran antar siswa yang menjadi tontonan para siswa yang lainnya. Mereka hanya berdiri dan bersorak-sorai tanpa berniat memisahkan apa yang sedang terjadi. Jika saja Santi diberi keberanian oleh sang maha pencipta, dia akan bejalan membelah kerumunan dan menghentikan sesuatu yang menjadi tontonan gratis itu.

"Itu ada apasih ribut-ribut?"

Santi menoleh kesamping dimana ada seorang siswi berambut panjang bertanya kepadanya. Santi hanya diam, tanpa berniat untuk menjawab membuat siswi itu berangsur menjauhinya. Sebenarnya Santi bisa saja menjawab, meski jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan keinginan yang bertanya. Yang harus Santi lakukan hanya cukup merespon.

Tumbuh menjadi pribadi yang tertutup membuat Santi tidak memiliki teman, karena sebagian dari mereka memilih untuk menjauh. Penyebabnya karena Santi kurang tau cara bersosialisasi, bagaimana caranya berpendapat, dan caranya berteman. Tidak tahu cara bersosialisasi karena Santi tumbuh dalam didikan yang super ketat dari kedua orangtua nya yang mengharuskan Santi homeschooling dari sekolah dasar hingga menengah pertama. Tidak bisa berpendapat, dan tidak tahu caranya berteman karena Santi sudah terbiasa dengan hidup sendiri tanpa seorangpun yang bisa dijadikan teman. Santi hanya anak tunggal, yang di tinggalkan kedua orangtua dengan urusan bisnis.

Tidak sampai lima menit kerumunan sudah dapat dibubarkan ketika pak Iwan selaku guru bidang kesiswaan datang dengan membawa penggaris panjang, menyisakan dua orang siswa dengan baju acak-acakkan yang kini sedang ditatap tajam oleh pak Iwan. Santi kenal mereka berdua. Yang satu namanya Dewa, ketua basket di sekolah Nusantara. Salah satu cowok populer di sekolah, sedangkan cowok yang kini sedang menyeka darah segar dari sudut bibirnya bernama Rendi. Dimana cowok tersebut adalah teman satu kelas Santi. Anak dari donatur terbesar sekolah, populer, dan jagoannya bermain futsal.

Santi menghela nafas panjang ketika hendak mengambil langkah. Ia makin mengeratkan pelukannya kepada laptop lalu mulai berjalan maju dengan kepala tertunduk. Ia berjalan pelan menuju kelasnya dengan jantung yang entah kenapa tiba-tiba berdebar kencang. Debaran ini tentu sangat familiar bagi Santi, karena ia akan merasakannya setiap dirinya berada dalam lingkup tempat yang sama dengan Dewa. Sebagai siswi normal, tentulah Santi sangat tertarik dengan Dewa. Namun sikap tempramen dan suka ribut yang dimiliki Dewa tentu tidak termasuk.

"Kalian, nggak bosen-bosennya ya bikin ulah."

Gadis kuncir kuda itu berhenti ketika jaraknya dekat dengan ketiga laki-laki itu. Santi mengangkat wajahnya dan langsung menatap pak Iwan yang kini ada didepannya. "Permisi pak," ucapnya lalu melanjutkan kembali langkahnya menuju kelas.

Saat sampai didalam kelas, ruangan persegi itu dipenuhi dengan suara bising siswa yang sedang bertukar suara mengenai kejadian tadi.

Santi merasa aneh dengan penghuni kelasnya. Seharusnya mereka tidak perlu membersarkan kejadian tadi dengan membicarakan nya karena kejadian tadi berlangsung akibat pertikaian Rendi dan Dewa, dimana salah satu dari mereka adalah teman sekelasnya.

Hampir dua tahun bersama dalam satu kelas yang sama dan sudah menganggap masing-masing seperti keluarga seharusnya mereka tidak perlu membicarakan kejadian tadi, karena sesuatu hal yang buruk tentu saja akan berdampak buruk. Sama halnya seperti mereka mebicarakan kejelekan kelas mereka sendiri.

Tak ambil pusing, Santi duduk di kursinya yang mana terletak di barisan paling depan berhadapan dengan meja guru. Pelajaran selanjutnya adalah pelajaran Matematika, dimana Santi yakin bahwa gurunya tidak akan datang karena akan sibuk mengurusi masalah Rendi dan Dewa. Ya, guru itu pak Iwan. Karena itu, Santi memilih membuka laptop nya dan melanjutkan kegiatan yang tak lain adalah hobby nya sendiri.

Kadang, menulis adalah salah satu cara mengungkapkan sesuatu ketika mulut tidak bisa berkata. Itulah Santi, gadis pendiam yang tidak pernah tau bagaimana cara bersosialisasi.

***

"Ini sudah ke delapan kalinya kalian lagi-lagi ribut disekolah. Apalagi diluar, apa bahkan sudah ratusan kali, hm?" tutur Pak Iwan melirik anak kedua anak didik yang kini berdiri didepan mejanya.

Pria paruh baya itu bahkan sudah merasa bosan jika terus-menerus harus mengurusi anak didiknya yang selalu mendapatkan masalah. Masalah yang menyeret Rendi dan Dewa, selama ini hanya itu-itu saja. Berkelahi, berkelahi dan berkelahi. Jika ditanya apa motif dibalik perkelahian mereka akan kompak menjawab "ini urusan anak muda,".

Pak Iwan memperhatikan Rendi dan Dewa saling berganti. Dari perlakuan mereka sangat bertolak belakang. Dewa masuk kedalam golongan siswa teladan, hampir semua guru kagum terhadapnya, siswa yang memegang peringkat pertama dari seangkatannya. Sedangkan Rendi, cowok itu cenderung badboy, gaya nya yang urakan seringkali membuat beberapa guru geram, apalagi Rendi termasuk siswa yang tidak bisa diam dan terkesan slengean.

Saking bertolak belakang nya, mari kita deskripsikan lagi perbedaan antara Rendi dan Dewa.

Dewa mempunyai rambut hitam legam yang disisir rapih kesamping, sedangkan Rendi mempunyai rambut yang acak-acakan dan terkesan masa bodo jika lupa tidak di sisir. Dari segi pakaian, tentulah Dewa paling unggul dimata Pak Iwan, cowok itu rapi dengan seragam yang dimasukan kedalam celana, sedangkan Rendi bajunya sudah keluar wilayah dan kusut.

Keduanya jelas-jelas berbeda, karena manusia tidak ada yang sama meskipun yang kembar identik sedikitpun tidak akan sam sepenuhnya. Tapi satu persamaan yang mereka miliki, baik Dewa maupun Rendi memiliki wajah yang sama-sama tampan.

Pak Iwan berdehem. "Dari segi apapun, kalian ini berbeda perilaku lalu kenapa kalian bisa berkelahi? Jelaskan!"

Dewa dan Rendi bertukar Padang beberapa detik lalu memperhatikan Pak Iwan. Kedua-duanya sama-sama diam, dalam artian Dewa saja yang diam Rendi sih kakinya nggak bisa diam.

"Jelaskan!" ulang pak Iwan.

Rendi menghela nafasnya sebelum berbicara. "Pak, ini tuh urusan anak muda. Bapak kaya yang nggak pernah muda aja sih kepo banget."

Pak Iwan menggertak. "Diam kamu Rendi,"

"Katanya tadi suruh jelasin, gimana sih. Bapak ini labil, kaya anak abg aja." cibir Rendi.

Dewa hanya diam dengan posisi istirahat ditempatnya. Sebenarnya ia malas lagi-lagi harus berdiri didepan pk Iwan karena sebuah kesalahan, bukan kebanggaan yang selaku ia lakukan.

"Dewa, kamu jangan diam aja. Jelaskan, kenapa kalian bisa berkelahi dan bapak harap kamu jangan tiru jawaban Rendi lagi. Untuk saat anggap kalian lagi ulangan dan dapat soal yang sama, dilarang mencontek!"

Sebelum menjawab, Dewa melirik Rendi sekilas. Meskipun ada noda darah di sudut bibirnya, Rendi masih saja bisa tersenyum. Dewa geram, karena baginya senyuman Rendi seperti sebuah tantangan yang harus ia lewati. "Saya, em-kita cuma salah paham aja pak. Setelah ini, saya janji kejadian ini tidak akan terulang lagi."

"Saya pegang ucapan Anda, Dewa."

Mendengar itu, baik Dewa maupun pak Iwan langsung menoleh ke asal suara. Dimana suara itu muncul dari bibir dengan sudut berdarah milik Rendi. Cowok itu bahkan tidak merasa malu sedikitpun, terkesan tenang-tenang saja.

"Rendi, kamu mencontek ucapan saya." kata pak Iwan.

Rendi menggelengkan kepalanya. "Idih si bapak, gimana Rendi nyontek orang bapak aja belum ngomong. Fitnah tuh,"

"Kamu memang nggak nyontek di ucapan saya, tapi kamu nyontek di pikiran saya." kata pak Iwan geram.

Rendi tertawa terbahak-bahak. Lalu sepersekian detik tawanya hilang berganti dengan wajah datar macam aspal jalan raya. Menatap tajam, Rendi menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuknya lalu berkata. "Bapak pikir, saya cenayang?" setelah itu tanpa izin dan perintah Rendi melenggang pergi keluar dari ruangan BK. Meninggalkan Dewa dan Pak Iwan yang sedang dilanda keheningan didalam ruangannya.

Bersambung..... 

ELSAWhere stories live. Discover now