Potongan [26] [END]

4.1K 132 16
                                    

When you said your last goodbye
I died a little bit inside
All I Want - Kodaline

️🎞️🎞️🎞️🎞️🎞️

Di sinilah Jingga sedari tadi. Tetap menanti. Berharap ada keajaiban Tuhan yang turun saat ini.

Di luar, cuaca yang sebelumnya panas entah kenapa sekarang menjadi mendung dan mulai turun hujan. Setidaknya sekarang ia tidak sendirian lagi. Sekarang ia ditemani oleh teman-temannya. Aroma petrichor, embun yang menggelayut di kaca sebelahnya dan suara gemericik hujan yang menambah keriuhan kafe.

Lalu ada seorang pria yang seenak jidatnya langsung saja duduk di depannya. Tanpa merasa bersalah, pria itu mulai memakan pesanannya.

Ia melirik siapa itu.

Bintang? tanya Jingga dalam hati.

Bukan Bintang.

"Ekhm, permisi." Jingga berpura-pura berdeham. "Kursi yang ini sudah ada yang menempati."

Orang itu malah membenarkan posisi kursi yang sedang ia duduki. "Tapi dari tadi saya lihat kursi ini kosong."

"Teman saya akan datang sebentar lagi. Jadi tolong, pergilah!" Pernyataan dari Jingga tidak membuat efek apa-apa kepada orang itu. Akhirnya ia berteriak dengan kesal, "Pergi!" Akhirnya orang itu terpaksa pergi walaupun dengan muka masam.

Jantung Jingga bergemuruh kencang. Amarahnya sudah memuncak tak karuan. Seekor macan akan siap meloncat keluar kapan saja jika ia diganggu sekali lagi.

Tak lama kemudian, ada seseorang yang akan duduk di kursi depan Jingga. Lagi.
Jingga menunduk memandang ponselnya dan berkata l. "Pergi! Saya tadi sudah menyuruh kamu untuk pergi. Kenapa kamu kemba—"

"Sejak kapan kamu memakai kata 'saya'?" Jingga mendongakkan kepalanya dan menyadari siapa yang duduk di depannya.

"Bintang?"

Mata Jingga melotot sempurna tapi ia cepat-cepat menetralkan wajahnya. Di dalam hati, Jingga sangat bersyukur karena doanya dikabulkan oleh Tuhan. Ia hanya harus meminta satu permintaan lagi. Semoga Bintang datang membawa jawaban yang menyenangkan. Bukan jawaban yang dapat menghancurkannya.

Ia berharap setelah ini semuanya berubah. Menjadi lebih baik lagi. Semoga saja.

"Oh iya, kamu jadi diterima di mana?" Jingga bertanya dengan nada sesantai mungkin. "Kamu diterima di ITS, kan? Di jurusan apa?"

Bintang manggut-manggut mengiyakan. "Di teknik fisika." Lalu ia melayangkan senyum kepada Jingga. Dada Jingga berdesir seketika saat matanya menangkap senyuman itu.

Jingga menggebrak mejanya tak percaya. "Waw, keren! Setauku sih itu jurusan yang passing grade-nya lumayan tinggi loh. Kok kamu bisa masuk sana? Eh by the way, selamat dan sukses terus, ya!" Jingga menyodorkan tangannya memberikan ucapan selamat.

"Makasih." Bintang mengambil tangan Jingga dan menerima ucapan selamatnya. Rasa hangat timbul diantara kedua tangan tersebut. Tak sadar, kehangatan itu mulai menjalar ke dalam hati salah satunya.

Tangan itu tetap di sana dalam waktu yang tidak wajar untuk sebuah kata selamat. Saat bintang menyadari itu, ia langsung melepasnya dan memasukkan tangannya ke saku celana.

"Kalau kamu masuk di universitas mana?" tanya Bintang penasaran.

"Keperawatan di Universitas Jember."

"Oh, berarti jauh, ya?"

Kalau iya, kenapa? Kamu merasa kehilangan? ucap Jingga dalam hati lagi

Akan tetapi tidak ada sepatah kata apapun yang terucap dari mulut keduanya. Hanya suara diam-diam dalam diam saja.

Kali ini Bintang mengulurkan tangan untuk memberi selamat kepada Jingga. "Selamat, ya. Semoga sukses." Jingga membalas ucapan selamat itu dengan senyuman.

"Makasih, semoga kamu juga."

Canggung.

Tidak ada yang melanjutkan berbicara. Padahal di sana hati Jingga ingin sekali menanyakan apa keputusan yang diambil olehBintang, tapi ia sadar bahwa ini bukan waktu yang tepat.

Jika ini bukan waktu yang tepat, lalu kapan?

Untuk memutuskan kecanggungan, Bintang pergi pamit untuk memesan makanan. Jingga langsung memanfaatkan kesempatan itu untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya semua ini karena ia merasa kadar oksigen di sekitarnya turun drastis saat ia berada di dekat Bintang.

Tidak perlu waktu yang lama untuk Bintang memesan makanan. Jingga yang sebelumnya sibuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, kembali meraskaan sesak di dadanya. Apakah Bintang lupa tentang 'itu'?

Tetap saja hening. Tidak ada yang mau mengeluarkan suara. Kembali canggung Seperi semula. Hanya terdengar suara gemericik hujan yang masih setia turun di luar sana.

Jingga mengaduk aduk kopinya canggung. "Jadi, gimana jawaban kamu?"

"Jawaban apa?"

Degg

Ia lupa. Ia lupa akan perkataanya dulu. Dari jauh hari Jingga selalu memikirkan jawaban yang akan diberikan oleh Bintang. Tapi sekarang apa? Bintang malah melupakan itu semua seperti angin lalu. Sedangkan Jingga menganggap itu semua sebuah angin topan yang tak punya ujung.

"Akan kesempatan itu." Jingga mengatakannya sambil menatap secangkir kopi miliknya.

"Oh yang itu—" Ucapan bintang terpotong Karena ada pelayan yang membawakan pesanannya.

Terasa seperti seribu tahun saat pelayan itu menaruh semua barang yang ada di nampan ke meja mereka. Ia ingin semua ini segera teeselesaikan. Tolong, pergilah!

Setalah pelayan itu pergi, Bintang langsung menjawab "Ya." Dalam hati Jingga sudah bersorak-sorai dengan perasaan senang bercampur lega. Kali ini ia tidak akan sendiri lagi. "Ya, setelah saya pikir-pikir lagi, saya memutuskan untuk tidak mau mencoba lagi."

Seketika dunia Jingga seperti runtuh. Hancur, lebur, tinggal puing-puing saja.

"Tapi, kenapa?"

"Karena saya lelah akan mencoba dan saya sudah lelah untuk gagal. Saya tidak mau saat saya mencoba lagi, semuanya sia-sia."
Mata Jingga sudah berkaca-kaca. Air mata itu sudah menggantung di pelupuk matanya. Tidak, ia tidak boleh menangis. Berkali-kali ia mengadahkan kepalanya, berharap agar air itu kembali masuk.

"Tapi jika kamu mencoba lagi, kamu tidak akan gagal." Bintang mengerutkan alisnya dalam. "Karena saya suka sama kamu."

Tubuh Bintang langsung mematung kaku. Ia tahu ini akan segera terjadi baik cepat maupun lambat. Tapi ia lupa membayangkan jika begini akhrnya.  Keputusannya sudah bulat untuk tidak memberikan hatinya kembali kepada Jingga. Tapi kenapa hati kecilnya ini menggodanya?

"Maaf." Meskipun ini keputusan yang sulit untuk ia ambil, tapi ia harus tegas. "Maaf untuk mengatakan ini semua. Saya izin pamit."

Bintang berdiri dan memakai jaketnya. Ia lalu menyesap sisa minumannya. Jingga memerhatikan itu dengan teliti. Melihat satu  persatu kejadian itu.

Matanya berusaha merekam wajah Bintang dan memasukkannya ke long term memory agar memori tentang Bintang tak pernah hilang. Memori tentang Bintang dan sejumput memori tentang adanya kata 'kita' diantara mereka.

Sebelum Bintang pergi, ia mengatakan sesuatu, "Ayo kita berjanji untuk berusaha berbahagia." Bintang mengulurkan tangan sebagai tanda perjanjian.

"Saya janji."

Hanya Bintang yang menjawab dan berjanji.     Sementara Jingga hanya mematung di tempat. Bintang menunggu jawaban yang keluar dari mulut Jingga, tapi nihil. Jingga tidak menjawab sepatah kata apapun. Sampai Bintang pergi meninggalkannya sendiri, ia tetap tidak bersuara.

Suaranya habis. Yang tersisa hanya suata hatinya yang merintih kesakitan.

Tolong obati rasa penyesalan ini!

Siapapun!

🎞️🎞️🎞️🎞️🎞️
[END]
Are you enjoying this story? Please leave vote and comment :)

SESAL [COMPLETED]Where stories live. Discover now