Potongan [12]

1.4K 93 0
                                    

'Cause space is just a word made up by someone who's afraid to get close
Close - Nick Jonas

️🎞️🎞️🎞️🎞️

Waktu terus berjalan dan sekarang sudah menunjukkan pukul 12 siang. Mereka harus segera menemukan sisa barang yang harus mereka beli dan segera pulang.

Jingga melihat ke arah sepatunya. Kakinya sudah terasa sakit. Ia sangat menyesal karena ia lupa memakai kaus kaki. Mungkin sampai di rumah kakinya akan lecet.

Jingga berhenti untuk memencet-mencet sepatunya tepat di bagian jari-jari kakinya. Iya, sepertinya akan lecet. Aga yang sadar Jingga sudah tak berjalan bersisian dengannya, langsung menoleh ke belakang.

"Kenapa? Kakimu sakit, ya?" Aga berjalan ke arah Jingga dan ikut berjongkok sama sepertinya.

Jingga menggeleng lemah. "Nggak, kok. Nggak kenapa-kenapa. Apa lagi yang perlu dibeli?" Aga merogoh saku celananya dan membuka lipatan kertas yang sudah kumal.

"Tinggal satu dress buat putri." Jingga manggut-manggut. "Kayaknya ada deh di  sebelah sana. Ayo! Semangat, semangat! Sebentar lagi pulang kok."

Mereka memasuki toko yang bertuliskan "Charm Shop". Banyak sekali pilihan dress di sana, mulai dari dress lengan pendek, lengan panjang, ada yang panjang dress-nya semata kaki, ada yang hanya selutut. Gara-gara banyaknya baju yang amat bagus, mereka berdua sampai menganga seperti orang bodoh.

Sebelum bertanya kepada pegawai toko, Jingga berjalan ke arah salah satu gantungan baju-baju dan melihat label harga. Ternyata harganya tidak terlalu mahal.

Salah seorang pegawai toko, menghampiri dirinya. "Ada yang bisa di bantu, Kak?"

"Oh iya, itu. Saya lagi cari dress selutut yang nggak terlalu blink-blink ada nggak mbak?"

"Kalau boleh tau, untuk keperluan apa ya, Kak?"

"Kalau buat teater yang cocok yang mana, mbak?" tanya Jingga.

"Sebentar-sebentar, saya carikan." Ia pergi ke arah gudang baju, tapi belum sampai sepuluh langkah ia kembali berbalik dan bertanya. "Seukuran mbak, kan?"

"Iya." Pegawai itu sudah kembali masuk ke gudang dan mulai mencari baju yang pas.

Aga yang tidak tau apa-apa masalah dress putri. Ia hanya duduk di atas kursi plastik sambil memegang ponselnya.

"Ini, Mbak." Pegawai itu menyerahkan sebuah dress berwarna putih simple tapi anggun.

Jingga pikir ini sudah cukup bagus dan tidak terlalu mewah untuk acara pentas. "Aga, sini deh. Kalo yang ini gimana?" panggil Jingga sambil melambaikan tangannya menyuruh Aga untuk melihat baju yang ia pegang.

Ponsel yang sebelumnya ia pegang, sudah masuk ke kantong celananya dan ia berkata, "Bagus kok, cocok itu. Wis, iku ae."

Jingga lagi-lagi mematut dirinya di cermin dan memutuskan untuk mencobanya dulu di fitting room.

Ia keluar dan bertanya ke Aga. "Ini bagus, kan?" Jingga bertanya sambil berputar-putar bak putri kerajaan.

"Keren-keren," kata Aga sambil mengacungkan jempolnya.

"Mbak, aku jadi ambil yang ini, ya."

*****

Saat ini, detik ini juga, Jingga dipaksa percaya akan indranya. Indra pendengarannya yang mendengar deru adu garpu dan sendok. Indra penciumannya yang membau bermacam-macam rempah yang dicampur jadi satu. Indra penglihatannya yang melihat banyak kesibukan dan banyak meja yang ditempati orang. Dan indra perabanya yang merasakan pegangan hangat Aga di telapak tangannya.

Aga menarik kursi salah satu meja. "Monggo, tuan putri." Jingga berkedip tidak percaya. Mulutnya sedikit membuka melihat kemajuan pada diri Aga.

"Ma-makasih," ucap Jingga tergagap.
Setelah itu Aga berlari dan meninggalkan Jingga sendirian. Belum sempat ia bertanya kenapa, ternyata Aga sudah berlari cukup jauh. Lalu ia sadar tak bisa mengejar Aga karena kakinya pegal. Jadi, ia hanya duduk dan memandangi meja di depannya.

Belum sepuluh menit berselang, Aga sudah kembali dengan nomor pesanan. Tertulis. "24" Nasi goreng dan mie goreng.

"Kamu pesen apa, Ga?"

"Pesen mie goreng sama nasi goreng. Aku nggak tau kamu suka yang mana, jadi aku beli dua macam," jawabnya santai.

Jingga memiringkan kepala "Kamu yakin mau makan dua porsi? Nggak kenyang?"

"Kan satunya lagi buat kamu."

"Ooh." Ooh, what?!

Selama menunggu pesanan datang, Jingga hanya bergerak kikuk sambil menggeser-geser layar ponselnya. Ia tak punya nyali untuk menatap mata Aga yang sedang mengarah lurus kepadanya.

Makanan pun datang dan mata Aga yang sebelumnya hanya terfokus ke mata Jingga sekarang berpindah ke makanan. Dengan asap yang mengepul, membuat Jingga tak kuasa menahan lapar di perutnya. Ia langsung menarik mie goreng di depannya tanpa bertanya.

Saat matanya terfokus melihat Aga, tangannya tak sengaja menyenggol gelas es teh. Sekarang seluruh meja dipenuhi dengan es teh tersebut. Aga yang sadar akan tumpahnya minuman itu, langsung mengangkat lengannya tinggi-tinggi.

"Sorry, Ga. Yaampun aku ceroboh. Ogeb!"

Alih-alih marah, Aga malah tertawa kencang. "Hahahaha! Kamu ini kayak anak kecil aja." Jingga hanya berdiri kikuk dengan kepala menunduk. "Kita pindah ke meja sebelah aja." Aga mengambil piringnya dan juga piring Jingga, lalu memindahkan ke meja sebelah.

"Sorry, Ga. Jadi basah deh mejanya."

Aga mengibaskan tangannya di udara.
"Nggak apa, santai aja kenapa sih. Kayak aku ini orang asing aja."

****
Selama di perjalanan menuju parkiran sepeda motor, Jingga tak henti-hentinya merapalkan kata maaf. Ia benar-benar tak ssngaja mengacaukan acara makan siangnya dengan Aga.

"Udah, siap?" tanya Aga. Mereka sekarang sudah duduk di atas motor dan siap untuk perjalanan pulang di bawah terik matahari.

"Siap!" Jingga menjawab dengan cengiran.

Keadaan parkiran sama saja dengan saat ia datang. Ramai dan sesak. Terjadi sedikit antrian di loket keluar motor karena banyaknya kuantitas kendaraan roda dua hari ini. Setelah menunjukkan STNK, menyerahkan tiket dan membayar parkir, mereka akhirnya keluar dari basement mall.

Langsung saja, sepeda motor Aga menambah kecepatan yang cukup signifikan. Reflek, Jingga mengenggam pinggiran jaket Aga.

"Pegangan, Jingga, mau tak banterin ini. Biar cepet sampe." Itu perkataan yang terkahir ia dengar sebelum deru angin memekakkan telinganya. Tangan Jingga langsung berganti memegang pundak Aga dan perjalanan pun berlanjut.

"Makasih ya, Ga. Udah mau njemput sama nganterin." Jingga menyerahkan helm hitam ke Aga.

"Udah, nggak apa-apa." Jingga balas mengangguk lalu masuk ke halaman rumahnya. Ia berbalik dan melambaikan tangan ke arah Aga. Aga membalasnya lalu menyalakan mesin dan langsung pergi begitu saja.

Senyum Jingga mengambang sangat lebar. Bahkan saat ia akan menaiki tangga menuju kamar, senyuman itu belum hilang dari wajahnya.

Kak Fajar yang sadar akan perilaku aneh adiknya itu bertanya, "Dek, kamu kenapa?" Kesurupan, ya?"

"Enak aja kalo ngomong!" sembur Jingga tak terima.

Daripada mood-nya rusak karena kakaknya, ia lebih memilih masuk ke kamarnya dan merebahkan diri di kasur.

Senyuman itu tetap di sana. Tetap di sana walaupun Jingga sudah terlelap dan langit pun begitu.

🎞️🎞️🎞️🎞️🎞️
|Happy reading⭐️⭐️|

*Wis, Iku ae : sudah itu saja
*Monggo : silahkan
*Ogeb : bego

SESAL [COMPLETED]Where stories live. Discover now