Potongan [16]

1.4K 96 0
                                    

We are problems that want to be solved
We are children that need to be loved
What about us - pink

️🎞️🎞️🎞️🎞️

Matahari sedang semangat-semangatnya mencuat, sementara Jingga di sini sedang malas-malasnya. Suara deru motor tak ada henti-hentinya masuk ke gendang telinganya. Asap motor pun tak ada lelah-lelahnya menerpa wajah Jingga sehingga membuatnya terbatuk-batuk terus menerus.

Sesekali ia melirik ke bawah, melihat apakah tali sepatunya sudah benar atau belum dan sesekali melihat jika ada jalan berlubang atau semacamnya. Yang penting ia tak melihat ke depan, di mana ada seseorang yang membuatnya menderita di hari libur ini.

Tangan orang itu sibuk memegangi setir motor sambil mendorongnya. Ia dan orang ini sedang sibuk mencari tambal ban karena ban yang mereka tumpangi tiba-tiba bocor begitu saja. Sudah cukup jauh mereka berjalan, akan tetapi mereka tak kunjung menemukan satu pun tukang tambal ban.

Ke mana mereka semua saat dibutuhkan? Anehnya, Bintang masih bisa menyunggingkan senyumnya senyumnya di saat-saat seperti ini.

"Kenapa senyum-senyum sendiri? Gila, ya?" damprat Jingga sambil menyilangkan kedua jari telunjuk di dahinya.

"Siapa yang bilang senyum itu nggak boleh?"

"Dih! Orang tanyanya apa, dia jawabnya apa." Jingga bergumam kecil di belakang Bintang.

"Apa?"

"Bukan apa-apa, bukan apa-apa, kok"

Akhirnya setelah proses jalan kaki yang cukup jauh, akhirnya mereka menemukan sebuah bengkel motor. Ternyata setelah di cek, bahwa ban sepeda motor milik Bintang tertusuk sebuah paku yang membuat lubang cukup dalam.

Daripada Bintang menunggu ban sepedanya ditambal dan tidak melakukan apa-apa, lebih baik ia berjalan untuk hunting foto.

Bintang keluar dari bengkel dan Jingga berlari mengikutinya. "Nggak usah ninggalin bisa nggak?"

"Nggak."

Kenapa di saat seperti ini Bintang menjadi sangat menyebalkan? Ia lupa, Bintang memang semenyebalkan itu.

Kali ini harapan Bintang telah dikabulkan. Di dekat bengkel motor itu, ada sebuah lapangan yang penuh dengan ilalang setinggi dua meter. Ia melihat papan kayu yang ditancapkan oleh warga setempat bertuliskan "Taman Tiara".

Tanpa aba-aba, Bintang berlari menerobos taman itu, tapi kali ini Jingga memutuskan untuk tidak ikut berlari. Ia lebih memilih duduk di bangku taman yang disediakan dan memerhatikan Bintang yang sibuk dengan kameranya. Tangan Bintang tak berhenti menyesuaikan lensanya sambil mengklik tombol.

Ckrik. Ckrik.

Sepertinya panasnya matahari siang ini tidak cukup kuat untuk menyurutkan semangat Bintang untuk hunting foto.

Jingga melihat Bintang dengan terus menerus tanpa henti, sampai-sampai Bintang menyadari akan tatapan dari Jingga. Dengan cepat, Jingga memutar kepalanya ke arah lain. Sekarang ia lebih memilih memperhatikan bangunan perumahan yang ada di dekat taman itu, sampai tak sadar ada yang memfotonya diam-diam.

Ternyata Jingga tidak bisa memutuskan untuk melihat deretan rumah-rumah itu terus menerus. Jadi, ia memutuskan untuk mengamati Bintang yang masih sibuk dengan kameranya, lagi.

Setelah sudah cukup puas mengambil gambar, Bintang mendatangi Jingga yang masih memerhatikannya daritadi.

"Sudah puas?" Jingga bertanya dengan nada jengkel.

"Puas apa?"

"Menurut kamu?" Bintang berpikir sejenak, lalu mengangguk mengerti. Kemudian, ia meninggalkan Jingga begitu saja.

Lagi-lagi Jingga terpaksa mengekori Bintang lagi dan lagi.

"Maaf." Akhirnya kata itu keluar dari mulut Bintang.

Kali ini Jingga menoleh untuk berhadap-hadapan dengan Bintang secara langsung. "Untuk?"

"Membuatmu menunggu di panas seperti ini."

"Santai, ini semua demi Aga." Jingga mengibaskan tangannya ke udara. "Jadi, aku harus gimana?"

Bintang mendadak menghentikan langkahnya. "Mungkin tidak di sini. Matahari sangat jahat, ia bisa menyakitimu."

Tidak seperti aku, batin hati Bintang yang terdalam.

*****

"Jadi, bagaima—" Jingga mendadak menghentikan ucapannya karena telapak tangan Bintang terangkat, tanda berhenti. Ia melakukan ini karena Bintang sedang sibuk meminum kopi hitamnya.

Suara percakapan orang lain yang samar-samar, terdengar sampai ke telinga Jingga. Sedangkan suara yang lebih jelas lagi adalah suara nafasnya yang normal saat ini. Tak semua orang di sini sama seperti dirinya. Mereka datang dengan tujuan berbeda-beda dan pulang dalam keadaan yang berbeda pula.

Saat Jingga sibuk melihat ke seluruh penjuru kafe, Bintang baru selesai meminum kopinya hingga separuh. "Maaf. Jadi, gimana?"

"Aku bingung apa yang sekarang aku harus lakuin."

"Bernafas menjadi pilihan utama."

Jingga memutar bola matanya kesal. "Maksudnya, aku harus gimana ke Aga? Apa yang harus aku lakuin lagi?" Ia mengaduk-aduk milkshake-nya asal. "Saya mencintai dia, saya harus apa lagi?"

Bintang diam-diam menelan ludah. "Ya, katakan kepadanya, apalagi?"

"Tapi, nggak semudah itu lah."

"Ah, saya tahu. Sebelum bilang seperti itu, kamu harus pastikan dia juga mencintaimu. Jangan buat dirimu sakit hati," kata Bintang santai, lalu menyesap minumannya.

Jingga menyisipkan anak rambutnya yang berantakan ke tempat semula. "Lalu?"

"Utarakan isi hatimu. Dengan cara kamu sendiri."

"Nembak dia gitu?" tanya Jingga polos.

Reflek, Bintang meninggikan suaranya sambil sedikit mendobrak meja. "Bukan!" Lalu ia sadar dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ia menghirup nafas sebanyak yang ia bisa dan melanjutkan berbicara dengan muka tenang. "Bukannya kodratnya wanita itu diburu, bukan berburu?"

"Tapi apa gunanya Kartini memperjuangkan kodrat wanita?"

"Tapi, kalau dilihat orang lain kan nggak enak juga." Jingga manggut-manggut dengan terpaksa mengiyakan kata-kata Bintang.

Suasana tiba-tiba mendingin dan tidak ada yang berbicara. Badai pikiran sedang berkecamuk di dalam kepala keduanya. Semua sibuk memikirkan bagaimana ia bisa melewati badai itu. Mereka sama-sama memikirkan nasib dirinya dan orang yang ia cinta.

Drrt

Satu pesan masuk ke ponsel Jingga. Ia buru-buru melihat siapa yang mengirimkan pesan.

Setelah membaca pesan masuk itu, Jingga berpamitan untuk pulang. "Maaf, Bintang. Saya pulang duluan. Kak Fajar minta aku pulang cepet. Kalau nunggu motormu kayaknya masih lama deh. Nggak apa, kan, aku tinggal?"

"Ya, silahkan." Bintang menemani Jingga hingga ke luar kafe. Lebih tepatnya hanya di ambang pintu saja.

Bintang tetap berdiri di ambang pintu sebelum sosok itu hilang diantara keramaian kendaraan yang berlalu-lalang. Lalu ia kembali duduk di tempatnya semula dan menyelesaikan minumannya yang tak kunjung habis.

Apapun yang kamu perbuat, saya akan tetap tinggal.

🎞️🎞️🎞️🎞️🎞️
|Jadwal update: seminggu dua kali :)|

SESAL [COMPLETED]Where stories live. Discover now