Potongan [25]

1.6K 97 0
                                    

But you didn't have to cut me off
Make out like it never happened and that we were nothing
Somebody that I used to know - Gotye
🎞️🎞️🎞️🎞️🎞️

Terkadang Jingga ingin sekali menjadi kapal.

Berlayar ke mana-mana, menyebrangi lautan dan melihat smeua keindahannya. Alasan lainnya ia ingin menjadi kapal adalah kapal tak pernah takut tenggelam walaupun ia berada di atas air yang siap membunuhnya kapan saja.

Akan tetapi, ada satu hal yang ia tidak suka dari perangai kapal.

Tertambat.

Ia tidak suka sekali jika tertambat pada sesuatu. Apalagi jika sampai berbulan-bulan.

Seperti keadaannya sekarang. Ia tetap saja tertambat kepada orang yang sama. Ia tertambat karena ia perlu keputusan apakah ia akan dilepas kelaut atau bagaimana? Sekarang ia hanya bisa menunggu keputusan. Menunggu dan menunggumu.

Menunggu yang dimaksud Jingga untuk beberapa menit ini sungguh membuat jantungnya berdebar. Ia dan teman-temannya sudah siap berbaris untuk menerima SKHU dan berjalan di atas panggung, menyalami guru dan kepala sekolah.  ia tak sadar bahwa sudah 3 tahun ia bersekolah sampai akhirnya ia lulus juga.

Disaat teman-temannya mengantri sesuai absen sambil menunggu namanya disebut, beberapa sibuk bercanda satu sama lain. Mungkin melakukan candaan garing atau percakapan untuk terakhir kali sebelum mereka berpisah ke universitas masing-masing.

Jingga sangat bersyukur bahwa ia diterima di universitas yang ia inginkan sedari dulu. Apalagi itu lewat jalur tanpa tes. Orangtuanya sangat bangga dengannya sampai-sampai mereka megatakan akan membelikan mobil untuk Jingga. Meskipun begitu, Jingga menolaknya dengan halus. Ia tidak mau menghambur-hamburkan uang orang tuanya.

Intensitas ketegangan di aula sedikit berkurang karena ada teman-teman paduan suara yang mengalunkan suara merdu mereka. Mereka menyanyikan banyak lagu. Mulai dari lagu wajib, hingga mash up lagu pop lawas.

Tangan Jingga sedari tadi sudah saling digosokkan untuk menghilangkan kegugupannya. Sebentar lagi ia yang akan maju ke depan dan menerima SKHU dan sebagai tanda resmi bahwa ia telah lulus.  Ia menilik baju toga yang ia kenakan dan dalam hati ia berdoa semoga semuanya lancar.

"Ananda Jingga Nilandara."

Sontak, Jingga langsung menerima map hitam yang telah disodorkan kepadanya dan segera menaiki panggung.

Ia tak percaya hari ini akan tiba. Pertama kali ia merasakan keharuan yang sangat mendalam. Setelah ia bersalaman dengan kepala sekolah dan beberapa gutu, ia turun dari panggung dengan senyum sempurna di wajahnya.

Akhirnya semua berjalan dengan lancar. Tidak ada acara seseorang terjatuh karena tersandung rok atau kejadian memalukan lainnya. Jingga menghela nafas lega dan segera bergabung dengan teman-temannya kembali ke tempat semula.

Sekarang semuanya sudah akan berakhir dan ia akan berpisah dengan teman-temannya. Di satu sisi ia merasa sangat senang, di sisi yang lain ia merasa sedih.

Saat kelasnya Bintang mulai berbaris, Jingga menelusuri semua anak yang berdiri di sana. Akhirnya ia menemukannya. Seseorang yang menambatkannya di dermaga selama berbulan-bulan dan sempat mengacaukan fokus belajarnya.

Ia terlihat rapi dengan baju toga hitam yang membelit tubuhnya. Rambut yang sebelumnya ia potong dengan cepak, sekarang terlihat lebih panjang. Senyum yang sudah lama tidak ia tampakkan, akhribya muncul ke permukaan.

Pandangan mereka bertemu. Untuk beberapa detik, Jingga merasa ia akan memandang Bintang untuk terakhir kalinya. Kali ini mungkin ia akan dapat tambahan label dari Bintang sebagai orang yang menyakitinya. Jingga memutus kontrak mata itu. Karena... karena... ia juga tidak tau kenapa.

Dari saat Bintang mulai menerima map hitam, lalu menaiki tangga, menyalami kepala skeokah dan beberapa guru, sampai ia menuruni tangga, Jingga melihat itu semua tanpa berkedip. Jingga tetap menatap lurus ke arah Bintang, berharap mata mereka kembali bertemu dan Jingga dapat menemukan jawabannya di mata orang itu. Tapi itu tidak terjadi. Ia bahkan tidak menoleh sekalipun ke arah Jingga.

"Jingga ayo hadap ke sini." Salah satu temannya menggoncang bahunya. Ia menoleh ke samping kiri ternyata teman-temannya sudah bsedia untuk ber-selfie bersamanya dan sederet teman-teman di sampingnya.

Ia berusaha menunjukkan senyumannya selebar dan setulus mungkin. Ia akan merekam semua memori ini di dalam kepalanya.

Setelah semuanya maju, sekarang waktunya untuk berfoto-foto ria. Dia semua sudut gedung ini terdapat orang-orang yang sibuk memegang ponselnya masing-masing sambil tersenyum manis tanpa terkecuali.

Bagi Jingga hal ini sangat penting karena setelah ini ia hanya akan bisa membawa memori dan foto teman-temannya saja. Begitu juga tentang Bintang. Ia hanya pergi membawa memori tentang Bintang saja dan beberapa surat yang pernah dikirim oleh Bintang.

"Kamu pulang bareng Mama sekarang atau pulang sendiri?" Mamanya tiba-tiba datang dan bertanya kepadanya.

"Aku pulang sendiri aja, Ma. Aku masih mau foto-foto sama temen-temen"

Mama mengambil map hitam Jingga dan mencium pipi Jingga. "Ya sudah, hati-hati. ya. Kalo ada apa-apa telepon mama, ya."

Mamanya pergi menuju pintu keluar utama dengan membawa map hitam miliknya dan tas jinjingnya. Mamanya pasti bangga karena anaknya lulus dengan nilai yang cukup memuaskan dan berhasil diterima di universitas yang dia inginkan.

"Jingga! Ke sini!" Lisa melambaikan tangan ke arah Jingga, menyuruhnya untuk mendekat. Kembali ia berharap dan begitu seterusnya. Mereka semua masih bergelut dengan foto. Foto sana, foto sini. Senyum sana, senyum sini. Sampai semuanya mulai lelah dan perlahan-lahan mulai meninggalkan gedung aula sekolah satu-satu. Jingga juga melakukan hal tersebut, tapi kakinya tidak melangkah untuk pulang. Justru ia sekarang ingin menyendiri di kafe depan sekolahnya.

Hatinya saat ini sedang sangat perlu dihibur. Mungkin segelas kopi Moccacino cukup untuknya. Walaupun tadi ia sudah bergembira dengan teman-temannya, entah kenapa ia tetap saja merasa kosong. Kekosongan yang sama.

Sekarang ia merasa bahwa ia adalah orang terbodoh di dunia. Ia rela dibodohi oleh seseorang yang bernama Bintang.  Katanya dia akan menemuinya dan mengatakan keputusannya. Akan tetapi, sampai acara wisuda selesai, Bintang tak kunjung menemhinya.

Setelah dipikir-pikir lagi, Bintang tidak layak dinyatakan bersalah. Ia saja tidak mengatakan kapan akan mengatakan keputusannya. Lalu sampai kapan Jingga harus menunggu?

Mulutnya berkomat-kamit untuk mengatakan semua pesanannya kepada kasir dan langsung membayarnya di tempat. Lalu kakinya sibuk melangkah ke meja yang ada di dekat jendela. Meskipun ini meja untuk empat orang, tapi Jingga tetap saja memilihnya.

Miris. Sangat miris. Ia di sana hanya  ditemani kekosongan yang selalu mencemoohnya. Semua memori Jingga tentang kehidupan semasa SMA tiba-tiba terlintas di pikirannya. Mulai dari ia masuk, kemudian MOS, lalu naik ke kelas 11, sampai ke kelas 12. Tak lupa juga kisah perjalanannya yang menyakitkan antara dia, Aga dan Bintang.

Tak terasa, air mata itu keluar dari pelupuk matanya dan mengalir di pipinya. Jingga tak berusaha untuk menghapusnya, ia malah membiarkannya jatuh. Sekali saja ia akan menjatuhkan air mata ini, lalu nanti tidak lagi.

Itu janjinya.

Setelah satu jam berlalu  ia tetap di sana merenung, sibuk menghabiskan waktu dan kopi.

Tak lupa ia sekarang juga sedang menunggu. Menunggu sesuatu yang tak pasti. Hanya sesuatu yang pasti, ia akan tetap menunggu itu.

🎞️🎞️🎞️🎞️🎞️
|Sesuai janjiku, aku bakalan publish seminggu sekali. Jadi, mohon bersabar ya kawan-kawan💕|

SESAL [COMPLETED]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant