Potongan [20]

1.3K 87 0
                                    

You say my name like there could be an us
I best tidy up my head I'm the only one in love
Melt my heart to stone - Adele

️🎞️🎞️🎞️🎞️

Memang ya, keinginan yang kita minta kepada Tuhan tidak langsung akan diwujudkan. Karena kononnya, doa-doa kita sedang mengantri di langit untuk dikabulkan. Walaupun permintaan itu tidak segera dikabulkan, semua itu mempunyai hikmah masing-masing dan jika dikabulkan itu adalah bonus.

Seperti Jingga yang sedari kemarin menunggu jadwal ekskul teater mulai kembali setelah cukup lama rehat sejak lomba di gedung pemuda waktu itu. Ia mengingat-ingat sejak kapan ia terkahir mengikuti latihan teater? Oh, ya! Dua minggu lalu. Sementara itu, hubungan Jingga dan Aga baik-baik saja, malah semakin membaik. Insiden tentang Bintang tidak memengaruhi benang diantara dirinya dan Aga.

Ia masih ingat di saat hari Minggu, ia keluar dengan Aga ke mall dekat sekolahnya. Hanya sekedar makan-makan dan nonton bioskop.

Sebentar, ia tadi bilang hanya? Hanya?

Bagi Jingga itu tidak hanya. Itu sebuah kemajuan besar yang sudah dinantikan Jingga sejak dulu.

"Baik, hari ini kita belum dapet cerita dan naskah baru buat drama. Jadi, hari ini kita bakalan me-review drama yang kemarin, ya. Apa yang kurang dari drama kemarin." Rio tetap kekeuh untuk me-review kembali drama kemarin, walaupun piala juara 2 sudah ada di tangan. "Ya, dimulai dari Angga."

Angga berbicara panjang lebar akan kesalahan-kesalahan kecil yang ia buat kemaren saat perlombaan. Bahkan Jingga tidak sadar bahwa Angga melakukan kesalahan-kesalahan itu. Ia mampu menutupinya dengan cukup bagus.

Bukan hanya Angga yang membuat kesalahan kecil. Beberapa anak lainnya juga melakukan kesalahan serupa.

Ada yang sedikit tersendat saat membaca dialog, sampai ada yang kemarin lupa dialog dan bersyukur bisa berimprovisasi dengan baik.

Setelah semua mengatakan kesalahan yang tidak sengaja mereka lakukan, semuanya mulai pulang satu-persatu. Dan sebelum itu, semua menyatukan tangan dan berteriak.

"Hidup untuk drama dan drama untuk dihidupkan!"

Jingga dan Aga tidak ada yang beranjak dari tempat masing-masing. Seolah-olah mereka mempunyai telepati agar meminta masing-masing untuk tinggal.

"Ekhm, Aga." Jingga memulai percakapan sambil berpura-pura membersihkan tenggorokannya.

Aga yang tadinya sibuk mengemasi barang-barangnya menghampiri Jingga dan duduk di sebelahnya. "Iya? Kenapa?"

Bagaimana ini? Apa yang harus ia katakan? Apakah sekarang? Apakah ini waktunya? Apakah jawaban yang selama ini iapikirkan dan impikan akan keluar dari mulut Aga? Yang terpenting, apa ia berani dan mampu mengatakannya?

"Andai ya, cerita yang di drama jadi kenyataan," gumam Jingga.

"Maksud kamu?"

Jingga mengepalkan jarinya, membuat buku-buku tangannya memutih. Rasanya keringat sudah membanjiri seluruh badannya. Ada jeda cukup panjang sebelum Jingga mengucapkan kata-kata itu.

"Andaikan aku putri dan kamu sebagai peranmu kemarin. Karena selama ini aku sudah menganggap diriku sendiri sebagai putri itu dan kamu adalah si pangeran."

"Maksud kamu?" tanya Aga sekali lagi.

Apa semua laki-laki begini? Susah sekali memahami makna dari kata-kata yang diucapkan wanita.

"In my angle, you're special. You're not just a friend, but you're more than just my friend." Jingga menatap lantai kaku. Ia tidak berani untuk menatap muka Aga secara langsung. Apalagi matanya.

Jingga tidak mengerti kenapa ia harus mengatakannya di sini, kali ini. Jika suatu tong terisi air terus menerus, maka air di dalam tong itu akan tumpah, kan?

Pasti.

"Tapi aku nggak pernah nganggep kamu more than just a friend. Kita ya, kita. Kita temen. Bahkan aku ngaggep kamu sebagai adik aku sendiri. Kapan aku pernah kelihatan lebih dari itu?"

"Kamu pernah menatap aku, dengan tatapan 'itu'. Something different. Kamu pernah dengan gampangnya nerima ajakan aku pergi keluar. Kamu pernah jailin aku kayak cowok dan cewek yang punya something diantara mereka. Kamu pernah ajak aku keluar. Ditambah dengan kejadian di drama waktu itu." Lagi-lagi ia tak berani menatap ke orang yang dia ajak bicara.

Ini memalukan.

Walaupun waktu sudah menunjukan sore hari. Kedua manusia itu tetap di tempatnya. Mereka ingin sekali menyelesaikan masalahnya di sini, kali ini.

Matahari, jangan buru-buru kembali ke peraduan. Tolong beri waktu bagi mereka mencari jalan keluar masalah mereka. Ralat. Bukan masalah mereka, masalah salah satu dari mereka.

Aga memantapkan duduknya menghadap Jingga.

"Jingga, kalau kamu ngomong sama orang, harus lihat ke orang yang diajak omong." Tangan Aga memegang kepala Jingga dan memutarnya sedikit agar menghadap dirinya. "Maaf, Jingga. Itu cuma kebiasaanku aja. Emang salah ya, punya kebiasaan untuk baik ke semua orang? Nggak boleh?"

Jingga menggelengkan kepala.

Mata Jingga masih menatap ke dalam mata Aga. Mencari kebenaran yang mungkin ia sembunyikan diantara kata-katanya. Berharap semua yang ia katakan hanya kebohongan belaka.

"Mungkin perasaanmu membuatmu buta. Kita hanya teman, oke?"

Jingga mengangguk mengiyakan. Walaupun di dalamnya hatinya jelas-jelas menolak semua yang dikatakan Aga. Sungguh, Jingga berharap ini hanya mimpi dan ia akan segera bangun lalu melupakan segalanya.

Lalu, apa artinya semua rencana yang ia susun dengan Bintang? Apa artinya? Tidak ada. Semuanya sia-sia. Semua usaha keras yang ia lakukan sia-sia dan semua yang ia korbankan bernilai nihil. Apa benar ia telah dibutakan oleh ambisinya sendiri?

Membagi betul ya, yang tugasnya berburu adalah laki-laki bukan perempuan. Jika saja ia berpegang dengan prinsip itu, ini semua tidak akan berhasil. Katanya, kita harus berusaha dengan keras, baru akan mendapatkan hasil yang maksimal.

Sudahlah, ini semua tidak penting. Ini semua sudah terjadi. Ini semua takdir. Ini semua salah Jingga. Ya, salahnya.

Aga menyentuh bahu Jingga. "Pasti kamu sakit hati, ya?" Tentu saja! Kapan laki-laki bisa mengartikan perilaku wanita? "Maaf."
Jingga mendongakkan kepalanya ke atas. Berharap air mata yang akan keluar akan masuk lagi. Ia tidak ingin menangis di depan Aga.

"It's okay. I'm okay. Everything okay dan we okay." Jingga manggut-manggut mengiyakan perkataan Aga dan menganggap semua masalahnya hari ini sudah selesai. Tas sekolahnya sudah tersampir di bahunya. Ia siap pulang, mengakhiri hari dan mengakhiri percakapan ini.

"Aku pulang duluan, nggak apa-apa kan, aku tinggal?" Jingga mengacungkan jempolnya dan Aga segera keluar dari ruang teater.

Setelah Aga keluar dari ruangan. Ia mendengar derap langkah Aga yang semakin menjauh dan Jingga langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Air matanya sudah tak bisa dibendung lagi. Ia kalah. Ia ingin menumpahkan segalanya.

Dalam hati, ia berdoa semoga saja ini hanya mimpi. Ia mencubit pipinya sampai terasa sakit. Tapi ia tak segera bangun dari mimpi ini. Ini memang kenyataan.

Tangis Jingga kembali berderai.

Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Kemana ia harus bersandar? Tak ada Bintang yang bisa menjadi tempatnya bercerita tentang Aga. Kali ini ia harus memendamnya sendiri. Mungin Lisa akan ia beritau setelah emosinya stabil.

Sekarang ia tahu bagaimana rasanya di posisi Bintang. Ya, seperti yang ia rasakan saat ini.

|7-03-2018, 20:31
Happy reading guys~|

SESAL [COMPLETED]Where stories live. Discover now