MEMORY GLASS -31

76 13 0
                                    

Dia tidak pernah menyukai senja. Katanya, senja itu cahaya penipu yang menyakiti langit.
(AudyKirana)


Sinarnya lagi-lagi mencuri masuk lewat jendela kamarku, mengusik mata yang tetap ingin tidur dihari minggu ini. Aku sudah terbangun, tapi enggan untuk beranjak dari tempat tidur, sesekali menggeliat karena kantuk yang berat.

Aku mengambil cermin kecil diatas nakas, pemberian Zee waktu itu. Lucu ya kalau diingat-ingat tentang sejarah benda yang membuatku jadi dekat dengannya. Saat itu ketika aku mengalami kesialan karena ulah senior, ia datang dengan senyum yang sempurna dan memberikan cermin ini padaku.

Lalu aku mendengar seseorang mengetuk pintu kamar.

"Ran kita masuk ya?"
Belum sempat aku menyahut mereka sudah membuka puntu kamar dengan paksa.

"Astaga lo masih di tempat tidur! jam berapa ini?"
Kata Tara sambil menyibakkan selimut ku. Ya, hari ini kami berencana untuk mengerjakan soal soal latihan ujian Nasional dirumahku.

"Mandi sana gih, biar gak bau." Ujar Fika duduk ditepi ranjang dan menyalakan TV.

"Aku mah udah wangi walaupun gak mandi juga hehe."

"Ngapain sih lo? Ngeliatin kaca mulu dah."  Tara mulai kepo karena sejak tadi aku tidak bergeming akan kedatangan mereka.

"Hanya rindu dengan seseorang dibalik ini." Jawabku seraya melempar kaca bening itu diatas tempat tidur.

"Alzee?"

Aku hanya bergumam lalu berkata.
"Menurut kalian.. aku bisa gak ya kuliah di Paris bersama Zee?"

"Hah?!"

"Kamu mau kuliah di Paris?!"

"Kenapa mendadak?"

"Demi apa?"

"Terus lo sama siapa kesana?!"

"Serius kamu mau kuliah di Paris?"

Lihatkan?
Reaksi para teman ku yang sangat terkejut mendengar rencana ku itu. Aku memang belum memberitahukan mereka tentang ini.

"Maaf kalau aku belum kasih tahu soal ini ke kalian. Aku ikutan program beasiswa antar negara, untuk membantu meringankan beban Mama, aku gak mau buat Mama kerja lembur cuma karena mengurusi uang kuliah kak Galih dan ditambah lagi aku. Semenjak kelumpuhan bang Dana, Mama selalu pulang malam terus, dan aku gak bisa lihat itu. Kalian tahu kan? Mama adalah orang yang paling aku cintai setelah kepergian Papa."

"Kita paham kok."

"Tapi kamu yakin hanya itu tujuan kamu ke Paris?" Tanya Fika, dan aku sudah tahu betul pertanyaan itu mengarah kemana.

"Entahlah Fik, pikiran ku juga masih bingung. Disatu sisi aku senang, karena dengan kuliah di Paris aku juga bisa bertemu dengan Alzee."

"Gue setuju Ran.. dengan lo dapetin beasiswa itu, lo bisa buat Mama lo bangga dan sekaligus dapet bonus buat bisa ketemu sama Alzee, iya kan?"  Aku juga setuju dengan pendapat Tara.

"Gak segampang itu lah Tar, ini menyangkut masa depan Rana. Jika salah satu rencana kamu itu hancur atau gagal, maka keduanya harus rela kamu lepas Ran." Aku tahu resiko besar yang dibilang Fika barusan, antara Zee dan beasiswa kuliah di sana. Tapi aku siap untuk resiko apapun nantinya karena setidaknya aku sudah mencoba dan berjuang untuknya, meski akhirnya perasaan itu tidak pernah ada.

"Kamu benar Fik." Jawabku sambil menyalin soal soal yang jawabnya telah kami kerjakan 2 jam lalu.

"Tapi aku salut sama kamu Ran, kamu orang yang terlalu berani mengambil keputusan dan tidak memikirkan resiko nantinya seperti apa." Ujar Fika .

Memory GlassOn viuen les histories. Descobreix ara