MEMORY GLASS -2

243 41 6
                                    

Setiap bayangan pasti tidak nyata, seperti itulah kamu. Hanya sekedar ilusi yang aku ciptakan untuk menemani sang waktu.
(AudyKirana)

Aku menatap cermin yang tergantung di dinding toilet sekolah. Seutas senyum kugambarkan disana. Ada suatu hal yang tiba tiba hadir dipikiranku, Andien. Aku dan Andien adalah teman dari kecil saat di Solo, dari kecil sampai lulus SMP teman baikku hanyalah ia seorang. Namun kami harus berpisah karena aku pindah ke Jakarta bersama keluarga.

Semesta memang begitu kan?
selalu punya rencana memisahkan dan mempertemukan.

"Rana. Kamu disitu?"
Suara yang sangat kuhapal dari seseorang yang pasti milik Fika.

"Iya. Kamu ngapain kesini nyusulin aku?"

"Geer, aku juga mau ke toilet"

"Oke aku tunggu"

Fika adalah gadis lugu yang cantik, ia hanya mengenal novel dan buku pelajaran yang membosankan itu. Fika punya alasan tersendiri untuk tidak mau pacaran, ia hanya ingin menjauhi sosok bernama laki laki. Katanya ia trauma dengan masa lalu yang membuat iya takut untuk jatuh cinta terhadap seseorang. Ia pernah bercerita saat kami sedang menunggu pengumuman dipinggir lapangan lalu. Ada satu kata yang aku tangkap dari ceritanya; kalau hati itu bukan mainan, jadi hati hati untuk menaruhnya disebuah tempat.

Fika benar kita harus hati hati dengan hati.

Hari ini guru-guru lebih memilih memperkenalkan diri terlebih dahulu dengan siswa pendatang baru kelas 10. Ada beberapa guru menceramahi muridnya dengan peraturan sekolah yang harus ditaati, begitupun dengan guru lainnya, yang pasti hari ini belum ada sesi belajar.

Tidak banyak guru yang kukenal
Di SMA Harapan, seingatku baru ibu Neti ia gemuk, berkaca mata, tubuhnya tidak pendek dan tidak tinggi. Waktu itu beliau yang menerima berkas pendaftaranku dan mungkin berkat beliau juga aku bisa bersekolah disini dan bertemu dengan Tara dan Fika .

Akhirnya bel kebahagiaan berbunyi, tanda untuk kenikmatan bagi para siswa yang perutnya sudah menjerit minta makan. Fenomena yang tak asing bagiku sejak dulu. Dulu waktu SMP di Solo fenomena kantin juga sama seperti ini bedanya hanya tidak ada Andien sekarang.

"Es jeruknya satu mang seperti biasa es batunya dikit aja hehehe" pesan Andien

"Siap neng Andien" jawab mang Andi penjual es dan bakso terlezat dikantin SMP kami.

"Ran..aku pesenin bakso juga ya mau?" Tawaran yang menggoda dan aku langgsung mengangguk cepat.

Aku menatap Andien serius, membuka obrolan dengannya,
"An. Aku mau ngobrol lebih lama lagi denganmu boleh?"

"Apasih kamu Ran..sebanyak apapun kata yang keluar dari mulutmu atau selama apapun kamu meminta waktu ku pasti akan aku berikan, kita sahabat selamanya akan tetap begitu!."
Senyuman Andien rasanya tidak bisa aku dilupakan.

"Walau aku di Jakarta nanti?"
Ucapku lirih sambil melirik bakso disampingku yang sejak tadi sudah diantarkan .

"Mau kamu di  Jakarta kek, Amerika kek, kutub Utara sekalipun kita tetap sahabat !" Mata Andien tidak bisa dibohongi, mungkin ia juga merasa kehilangan karena aku akan tinggal di Jakarta demi memenuhi kontrak kerja Mama.

"Janji?" Aku memberikan jari kelingking untuk tanda pernjanjian.

"Janji".

__
Lamunan ku buyar, ketika Tara menyodorkan semangkok bakso yang aromanya menusuk hidungku, sangat lezat, tapi tidak selezat bakso mang Andi di Solo.
Rana kamu ini kenapa sih! masalalu biarlah berlalu!

"Makan Ran, ngelamun aja lo" perempuan berkulit coklat ini menarik kursi dan duduk disampingku, "Kenapa sih Ran, kelihatan sedih gitu, cerita ke kita, kita ini sahabat lo mulai sekarang."
Tara memang benar mungkin aku harus sedikit bercerita sedikit.

"Tara bener Ran, kita sahabat sekarang. Jadi, apalagi yang harus ditutupin?" Fika yang sudah kembali dari memesan batagor dan langsung duduk didepan meja kantin bersama aku dan juga Tara.

"Sahabat?" Tanyaku heran dan memastikannya "Jadi mulai sekarang kita sahabatan?"

"Of course "

Menyenangkan .

Aku ceritakan semuanya tentang kota Solo, sekolahku, alasan pindah ke Jakarta dan termasuk Andien sahabat satu satunya yang kumiliki di Solo .

Disela bercerita tiba tiba mataku terpusat pada seorang laki-laki yang menolong ku saat pengumuman kelas minggu lalu. Tampilannya masih sama, kemeja sekolah yang tidak dimasukan, namun bedanya hanya rambutnya terlihat agak rapih sedikit, ah..mungkin karena pakai minyak rambut jenis Pomade.

Ia terlihat duduk sendiri dipojok kantin. Apa dia tidak memiliki teman?

"Kamu tidak menghubungi Andien?"
Tanya Fika saat aku berhenti bercerita tentang Andien.

"Dia belum boleh menggunakan ponsel Fik, ibunya yang melarang"

"Wah itu mah jadul banget emaknya" Tara menyahut sambil menaikan kaki diatas kursi kantin. Padahal dia pakai rok, dasar. Kalian heran? Sama!

"Bukan gitu Tar, pendidikannya keluarga Andien sangat ketat banget sampai kakaknya yang cowok aja gak boleh pacaran sebelum lulus kuliah "

"Gak sekalian aja tuh abangnya jadi bujangan tua"

Fika berdecak kesal, "Bisa diem dulu gak tuh mulut"

"Gak bisa! Karena ini kodratnya untuk ngomong," balas Tara sambil menunjuk kearah bibirnya.

"Iya! tapi ngomong itu harus seperlunya aja, gak kayak kamu nyerocos terus"

"Mulut mulut gue ini ya, bilang aja iri sama bibir Kendal Jenner" balas Tara lagi, sambil memajukan bibirnya kedepan.

"Lebih mirip bibir bebek asal kamu tahu!" Fika tidak mau kalah, aku hanya menghela nafas. Sesekali pandangan ku menjelajah penjuru kantin. Masih mengamati sosok laki-laki yang tidak ku ketahui namanya itu.

"Bebek gak punya bibir asal lo tahu!"

"Punya! Setiap makhluk itu pasti punya bibir. Belajar biologi gak sih?!"

"Ada yang gak punya"

"Apa Tar?" Kataku bertanya dan ikut kedalam topik mereka.

"Cacing"

"Hah?" Kataku bingung

"Iyaiya terserah dia aja Ran, biar Tara seneng" kata Fika sambil memakan batagor nya.

"Terus kapan rencana kamu akan ke Solo ?" Tanya Fika kembali pada topik awal ceritaku.

"Liburan kelas 12 nanti"

"Kenapa gak liburan semester ini aja?" Tanya Tara sambil memasukkan bakso kedalam mulutnya.

"Mama ku belum dapat cuti dua tahun ini, jadi gak bisa "

Lalu aku melihat bayangannya pergi meninggalkan kantin. Langkahnya tergesa gesa dan gelisah.

ahh sudahlah Ran untuk apa juga kamu perduli?

Memory GlassWhere stories live. Discover now