MEMORY GLASS -17

111 21 2
                                    

Kamu adalah bayangan diantara jutaan orang, sampai aku bingung bagaimana caranya menemukan kamu diantara itu?
(Audy Kirana)

Semingguan ini aku seperti tidak bergairah untuk melakukan apapun. Setelah pulang sekolah langsung masuk kamar, lalu tidur, begitu seterusnya sampai aku tidak mood untuk kemana mana.
Tiga bulan tepat kepergian orang itu. Sampai aku lupa bagimana caranya tersenyum. Tidak bisa egois, kamu memang orang pertama yang membuat aku jatuh cinta begitu hebat, sampai aku saja lupa bagaimana caranya mencintai diri sendiri.

Kalian boleh bilang aku bodoh, gila atau apalah itu. Seharian ini aku hanya mengunci diri didalam kamar karena ini adalah hari minggu. Aku menatap benda pipih diatas lantai, berharap muncul nama seseorang dilayar. Sesekali memandang keluar jendela hanya sekedar melihat burung terbang yang berputar-putar di langit.

Aku berfikir, kamu itu seperti burung diatas, terbang jauh dan susah untuk kembali. Padahal kamu punya sayap yang semau kamu bisa dikepakan kemana saja.

Lamunan ku pergi saat suara gagah milik abang mendekat.
"Dek. Gue boleh masuk?" Aku mengangguk pelan.

"Gak usah bego mikirin orang yang belum tentu mikirin diri lo sendiri" ia berjalan dan duduk disamping tempat tidurku.

"Hah," aku berusaha mencerna kalimatnya barusan, tiba-tiba saja bang Galih berkata seperti itu. Kesambet setan dari mana 'kah?

"Gue pernah suka sama cewek sejak SMA, mungkin bisa dibilang cinta, dan perasaan itu masih ada sampe sekarang"

"Hah?" Aku mengernyit, bingung. Sebenarnya bang Galih mau membicarakan topik apa?

"Hah hoh hah, udah kayak emak-emak lagi nawar karung goni aja lo"

"Kenapa karung goni?" Aku sedikit geli menahan tawa karena ucapannya barusan.

"Karena kaget harga karung goni lebih mahal ketimbang emas kw 4"

"Abang ngelucu?" Aku tertawa, ia memang selalu bisa menghibur ku saat saat aku sedang merasa bosan seperti ini.

"Enggak. Gue lagi goreng nasi Padang terus lauknya lo" Lucu. Bagaimana bisa sekarang wajahnya berubah kesal dan manyun karena aku.

"Aku masih marah sama abang, lupa?"

"Kulkas udah penuh noh, gue minjem duit Dana"

"Hehe, Rana cuma becanda. Tadi abang mau ngomong apa?"

"Gk jadi. Udah hilang ketelen bumi lapis ketujuh"

"Ck. Marah nih ceritanya?__ihh gemes kalau abang lagi marah gini, pengen cubit."
Sangat langka melihat seorang Galih ngambek seperti ini dan aku langsung mencubit pipinya.

"Udah deh dek, gak usah sok ceria didepan abang, gak mempan. Mau cerita?__Gini-gini abang bisa jadi tempat mangkuk curhatan gratis"

Aku mengangguk pelan, ternyata seorang Galih Wijaya adalah abang yang mengerti adiknya.
"Hm. Hujan itu bodoh ya bang."

"Kenapa?"

"Sudah tahu jatuh itu sakit, tapi tetap saja mau kembali ke langit dan dijatuhkan lagi." Padahal siang ini tidak hujan. Senang saja kalau pakai perumpamaan itu.

"Tapi abang salut sama hujan dia gak pernah marah sama langit yang terus menjatuhkannya berkali kali, malah hujan bahagia, karena dengan cara itu ia bisa membaginya dengan bumi."

"Hm, abang benar"

Kalian tahu? Jarang sekali mendengar kata kata bijak dari mulut berbibir tipis milik abang. Mungkin itu adalah salah satu cara ia untuk bisa membuatku merasa tenang, setiap aku merasa sedih, seperti sekarang inj. Aku memang lebih dekat dengan bang Galih, meskipun ia tengil dan suka maling yogurt milik ku, dari pada dengan bang Dana, mungkin karena bang Dana sibuk kerja disalah satu perusahaan besar di Jakarta. Nyaman memliki kedua abang seperti mereka.

Memory GlassWhere stories live. Discover now