Mama menitihkan air mata kecil. Aku tahu hatinya amat terluka. Seharusnya aku tidak bertanya kepada Mama tadi!

"Maaf Ma" Aku memeluknya lebih erat lagi merasakan kehangatan malaikat tanpa sayap ini.

"Mama ngerti, yudah itu di makan" Mama menunjuk piring berisikan sepotong ayam goreng dan tumis kacang sederhana dan berlalu pergi menuju kamarnya. Aku yakin setelah dari sini pasti Mama akan menangis lagi dikamar-nya. Sebegitu sakitkah kehilangan seseorang yang kita cintai?

Aku memasukan satu sendok nasi kedalam mulutku, namun terhenti karena suara dering ponsel diatas tempat tidur. Aku melongo sebentar melihat pop up nama pengirimnya. Sempat tak percaya tapi ini kenyataannya. Alzee mengirim pesan!

Alzee Gardana: Ran, besok gue berangkat. Lo hati-hati.

Masih kupandangi selama 5 detik sebelum aku memutuskan untuk membalas pesannya

Audy Kirana: Boleh aku ketemu kamu malam ini sebelum kamu pergi?

Kosong. Layar diponselku sudah menggelap, tidak ada balasan sama sekali dari Zee. Aku tahu ia akan pergi ke Paris, namun aku ingin bertemu dengannya sekali lagi.

Sudah jam 9.42 harusnya aku sudah tidur, tapi tidak bisa. Pikiran ini masih bergelut dengan sosok manusia itu. Aku turun kebawah menemui Abang yang tengah berselimut sarung disofa ruang tengah.

"Abang belum tidur kan? " Tanyaku sambil melirik tayangan tv yang ia tonton, tak tahu apa nama acaranya.

"Hm, kenapa?" ia hanya bergeming.

"Anterin aku ke jalan ini " aku melemparkan secarik kertas berisi alamat rumah Zee yang sempat ia berikan waktu pulang dari surga glass waktu itu.

"Lo gila?! " ia terlonjak sampai sarung yang ia gunakan untuk menutupi bokser pendeknya itu jatuh, bermotif Spongebob, lucu.
"Udah malem dan lo mau keluar? Mau dihajar Dana?, mau ngebunuh gue?"

"Plisss " aku memasang wajah se-inconet mungkin, agar Abang mau mengantarku.

"Mau ngapain kesana? Adiku sayang "
Akhirnya wajah memelas ku ini berhasil membuat bang Galih luluh.

"Ada hal penting mendadak sama teman, tapi jangan bilang Mama ya atau kak Dana toh, dia juga belum pulang."

"Ck, tunggu bentar"

Senang rasanya melihat Abang nurut dengan adiknya. Segera mungkin lelaki itu mengambil jaket dan celana hoodie yang dipasang secara asal.

***

"Ini rumahnya. Bener? Coba cek lagi alamatnya, nanti kalau salah gue juga yang malu "

"Bener kok. Rana turun dulu Abang tunggu sini aja "

"Lah siapa juga yang mau ikut, ogah"

Baru saja mau membuka gerbang, suara Abang menggerutu, " ck. Jangan lama-lama, lo tega liat Abang lo ini dibelai sama angin?"

Aku hanya mengangguk. Sekarang aku sudah tepat didepan pintu rumah Zee. Tidak butuh waktu lama sampai suara pintunya terbuka. Tapi harapan tinggal harapan yang membukakan pintunya bukan yang diharapkan, melainkan wanita paruh baya dengan daster panjangnya.

"Neng gelis cari siapa? " Tanyanya dengan ramah.

"Alzee ada Bu?"

"Waduh neng gelis telat, tadi sore mas Alzee sudah berangkat "

"Kemana?"

"Ke Paris katanya neng "

Boom.

Seperti teriris belati rasanya, sakit. Saat ini juga aku ingin menjatuhkan diri ke jurang yang tidak ada dasarnya, sakit karena terambang oleh dinding batu besar.
Apa salahnya jika aku ingin bertemu sekali saja sebelum ia pergi?

Aku pergi meninggalkan perempuan paruh baya yang berdiri di pintu jati. Tak perduli ia menilai aku sopan atau tidak karena tidak berpamitan dengannya. Aku hanya mau bertemu dengan Zee.

"Dek. Lo kenapa ?" Sudah kutebak Abang langsung bertanya ketika mengetahui wajahku berubah sedih.

"Gak ada yang nyakitin lo kan? " Sakit. Iya bang hati Rana yang sakit
"Terus ini rumah siapa sebenarnya, jawab Abang?!"

"Zee. " Bibirku gemetar, seluruh tubuhku lemas, hanya menyebut namanya saja bisa semenyakitkan ini, apalagi dengan kepergiannya, membuat sesak tanpa permisi!.

"Hah?"

"Dia pergi bang," Bening kristal jatuh begitu saja tanpa direncanakan mengalir perlahan dipipiku.

"Cowok yang nganterin lo pulang tempo lalu?"

Aku mengangguk. "Kirana cinta sama dia bang, dia yang memberi warna pelangi, dia yang menjadikan awan hitam menjadi senja indah, dia yang selalu mengukir bulan di wajah Kirana, dia pergi."

Abang menarik tubuhku, merangkul aku dalam pelukan hangatnya. Tidak kusangka bisa setenang ini.

"Dek. Kalau dia diciptain untuk bisa sama lo, dia pasti balik. Percaya sama Tuhan yang memberi tangis sebelum kebahagiaan"
Abang benar akan ada bahagia sesudah sedih, tapi kapan? Seorang manusia normal pun rasanya tidak akan sanggup menerima kenyataan pahit ini.

Didalam mobil aku hanya diam saja, melihat keluar jendela sambil menikmati jalanan sepi ibu kota.
Sudah jam setengah 12 sekarang, dan aku masih disini, ditengah kota metropolitan yang mempunyai berjuta kejutan tak terduga.

"Kalau ditanya sama Dana bilang aja gue nganterin lo kerja kelompok"

"Kenapa gitu?"

"Elah lo mau gue kena semprot sama tuh onta?"

Aku hanya bergumam. Berlalu membuka pintu rumah sambil mengucapkan salam, ternyata pintu tidak terkunci, menandakan bang Dana sudah pulang.

"Dari mana kalian?" Tanya lelaki berumur 24 tahun yang berdiri tegap dihadapan ku dan bang Galih, "udah mulai berani keluyuran tengah malem?"

"Sudah jam berapa ini?"
Aku hanya diam saja, biar bang Galih yang menjelaskan.

"Galih. Harusnya lo jagain Rana dirumah bukan malah ngajarin keluyuran gak jelas, besok dia harus sekolah!"

"Gue cuma nganterin Rana kerja kelompok" Alasan bang Galih sangat tidak masuk akal, kerja kelompok apa tengah malam begini? bahkan sedari tadi aku tidak membawa tas. Setidaknya ia sudah berusaha melindungi ku.

"Masuk!"

"Etdah lagi pms bang, awas berkerut itu lo"
Masih saja bang Galih tidak mau mengalah dan membalas bang Dana.

Bang Dana menatap sinis, masih terdengar suara keributan mereka sampai ke tangga menuju kamar. Aku tahu mereka hanya sedang bercanda.

"Pikiran lo bener-bener harus dicuci!"

"Emang gue mikirin apaan, otak gue mah bersih, setiap hari minum yogurtnya Rana" aku menghela nafas, menengok kearah mereka berdua. Memeberi tatapan untuk instruksi berhenti.

"Bodo amat "

"Rana masuk! "

Kenapa si abang-abang gak pernah ngerti apa yang Kirana mau. Percuma rasanya punya dua Abang yang selalu sibuk dengan pemikiran nya sendiri. Aku mau Zee !.

Memory GlassWhere stories live. Discover now