Di sekolah aku ditemani mama. Ya, karena aku masih kecil. Kadang Bu Tin dan Pak Toh juga ikut menjaga saat mama tidak bisa mengantar. Sekolah itu milik kepolisian. Namanya "TK
BHAYANGKARI"

Aku suka waktu sekolah karena yang kulihat bukan hanya mereka yang tak terlihat, tetapi aku sungguhan berteman dengan manusia. Akhirnya bisa berteman yang usianya sama denganku.

"Apakah kamu senang, Hana?" tanya Bu Tin dan Pak Toh suatu ketika."

"Iya. Mereka mau bermain denganku," ucapku senang.

"Tapi?" Aku memandang mereka dengan sedih.

"Ada apa Hana?"

Aku menunjuk mobil putih dekat kantor polisi saat berjalan pulang. Kendaraan beroda empat yang tak kusukai sama sekali.

"Tidak apa-apa. Ada kami di sini," ujar Bu Tin layaknya seorang ibu yang menguatkan anaknya.

Hanya ucapan itu yang dapat membuat aku tak takut lagi. Aku selalu berada di tengah di antara Bu Tin dan Pak Toh saat berjalan. Mereka akan saling menggandeng tanganku.

Jika orang lain melihatku mereka akan menyangka jika aku berjalan sendiri. Akan tetapi jika mereka memiliki kemampuan yang sama dengan aku. Sribu persen aku yakin mereka melihatku dengan 'mereka' yang tak tampak.

Sampai detik ini aku tidak bertemu dengan orang yang sama denganku. Maksudku memiliki kemampuan ini.

Aku tidak pernah mengatakan kepada teman - temanku jika memiliki kemampuan ini. Aku sangat yakin mereka tak akan pernah percaya kepadaku dan dianggap gila, mengada-ngada, berbohong. Aku selalu menyimpan semuanya sendiri.

Ada banyak hal yang ingin kubagikan kepada kalian. Aku mohon jangan menganggapku berbohong. Aku membagikan ceritaku bukan untuk dianggap terkenal. Aku hanya ingin kalian tahu betapa tersiksanya saat tak ada yang pernah percaya. Aku hanya bisa mengutarakan dalam bentuk cerita saja.

****

Ayunan warisan ini. Ya, aku sebut seperti itu karena ayunan ini turun temurun. Kakek
membelinya di Jember, sayangnya dulu tidak ada ponsel yang bisa mengambil gambar.

Sampai sekarang masih ingat bentuk dan detail ayunan itu. Ayunan ini memiliki dua tempat duduk yang saling berhadapan. Di setiap sisi tempat duduknya ada ukiran bunga dan burung kecil. Di tiang-tiangnya ada ukiran pita. Ayunan ini terbuat dari besi dan putih warnanya.

"Hana, main ayunan yuk sama kakak," ajak kakak perempuanku di hari libur sekolah.

"Ayo ... " Aku mengiyakan ajakannya.

Aku senang jika bermain berdua dengan kakakku. Aku tidak sendirian saat bermain. Karena ayunan itu terletak di halaman samping rumah otomatis kami harus melewati pohon nangka yang menjulang tinggi. Aku tak pernah sekalipun mau melihat keatas pohon. Ada penunggunya di atas pohon itu.

"Kamu lihat apa, Hana?" tanya kakakku sambil menggandeng tanganku.

"Itu loh, kak. Ada wanita duduk di sana." Aku menjawabnya sambil melirik ke atas.

"Mana ada, Hana? Ini kan, masih siang. Tidak ada yang namanya hantu siang hari," sela kakakku tak percaya.

"Benar yang aku katakan kakak," bantahku untuk menyakinkan kakak. Tapi sayang dia nggak percaya.

"Kamu mau main nggak? Kalau nggak mau. Kakak tinggal loh." Akhirnya dia mengomel.

"Ya mau main, Kak," jawabku pelan. Akhirnya kami naik ayunan bersama. Aku membelakangi pohon nangka itu karena yakin wanita itu masih di atas sana. Menjelang magrib aku tak pernah mau menginjakkan kaki ke halaman belakang. Banyak sekali anak-anak yang tak tampak dan para penunggu di luar.

Hana's Indigo (True Story) ( Repost Ulang Sampai Tamat )Where stories live. Discover now