"Dewa!!!" teriak Maminya lagi. Namun Dewa tidak mengacuhkan. Tangannya terus-menerus meninju seseorang yang tubuhnya hanya dibalut celana boxer itu. Tanpa ampun Dewa menghajar laki-laki itu sambil memaki dan meneriaki dengan kata-kata kasar hingga puas. Kalau bisa, hingga laki-laki itu mati.
"Pergi lo, anjing! Sekali lagi lo dateng ke sini, nggak akan gue biarin hidup lagi!" seru Dewa setelah puas membuat wajah laki-laki muda yang tidur dengan Maminya itu babak belur.
"Lo mau duit? Lo mau ini rumah? Mau mobil gue? Ambil, gigolo! Ambil semuanya, anjing! Tapi jangan pernah lo temuin orang gila ini lagi!" Dewa menunjuk Maminya. "Yang lebih muda dan cantik kayak dia juga bisa lo tidurin. Jangan nyokap gue! Jangan keluarga gue, anjing!"
"Bukan gue, nyokap lo yang minta. Dia yang ngemis-ngemis sama gue. Mungkin karna permainan bokap lo nggak seenak permainan gue." Laki-laki yang usianya hanya terpaut lima tahun di atas Dewa itu menjawab sambil tersenyum penuh ejekan. Membuat Dewa tak tahan untuk tidak menghajarnya lagi.
"Anjing! Bangsat! Pergi sekarang juga!" teriak Dewa hingga urat-urat lehernya hampir keluar.
Masih dengan senyuman miring, laki-laki itu berdiri dan memungut pakaiannya lalu berjalan tertatih keluar dari kamar. Namun sebelum keluar, dia sempat berhenti di samping Dewa dan membisikkan sesuatu di telinga Dewa. "Titip makasih ke bokap lo yang udah mau ngirimin duit buat nyokap lo beliin gue mobil. Dasar para orangtua bego!"
Sekali lagi, benar-benar tanpa ampun, Dewa menghajar laki-laki itu sampai akhirnya tergeletak di lantai tak sadarkan diri dengan darah-darah yang bercucuran di sekitar tubuhnya. Darah bekas pukulan dari Dewa, dan juga bekas pecahan lampu tidur yang mengenai tubuhnya. Dewa tetap saja masih belum merasa puas, inginnya laki-laki itu langsung mati di tangannya. Tapi teriakkan Maminya menahannya.
"Dewa kamu jangan gila! Gimana kalo dia mati?!" Maminya bersimpuh di sebelah laki-laki itu sambil menatap Dewa sangat marah.
Dewa membalas tatapan itu sama marahnya. "Lo yang jauh lebih gila!" ucap Dewa penuh penegasan di tiap katanya. Lalu tanpa mau mendengarkan teriakan Maminya lagi, Dewa berjalan keluar kamar setelah sebelumnya menendang guci di pojok kamar hingga hancur.
Di pintu kamar, Dewa berhenti dan berbalik menatap Maminya lagi. "Sekali lagi kayak gini, dia bakal mati!!" ucap Dewa amat serius. Maminya hanya berteriak tak jelas, meminta tolong pada para pekerja di rumah. Tapi sayangnya, tak ada yang akan mau membantu karena Dewa sudah menyuruh mereka pergi lebih dulu.
Sepanjang Dewa berjalan menuju pintu depan rumahnya, segala benda yang berada di dekatnya akan dilempar dan ditendang sampai hancur. Guna melampiaskan kemarahannya yang masih belum mereda. Tangannya bahkan masih gemetar dan rahangnya masih mengeras.
Di teras rumah, Dewa mengambil sebungkus rokok dari dalam saku celana seragamnya dan mengambil satu batang untuk dibakar. Dihisapnya dalam-dalam rokok itu dan dikeluarkan asapnya dengan kasar.
Kalau saja bisa, Dewa ingin menangis. Seperti dulu ketika dia masih kecil, apapun yang menyakitinya akan membuatnya menangis. Sayangnya, sekarang sudah tidak bisa lagi. Airmatanya tidak akan dikeluarkannya secara cuma-cuma lagi.
Yang bisa dilakukannya sekarang hanyalah berteriak dan meninju kaca jendela rumahnya sampai pecah dan buku-buku jarinya mengeluarkan darah.
Dengan tangan kiri, Dewa mengambil blackberrynya dari saku celana lalu mendial nomor kekasihnya. Di nada sambung ke enam, telepon itu baru diterima.
"Halo, kenapa, Ay? Kamu udah makan? Aku lagi di mal, ada kelas makeup, nih. Repot banget, maaf ya daritadi belum sempet ngabarin kamu. Kamu di mana sekarang?" Suara lembut itu langsung terdengar di telinga Dewa, terdengar buru-buru dan berisik. Dan niat yang sebelumnya ingin Dewa lakukan, akhirnya terpaksa diurungkan kembali karena kesibukan kekasihnya.
"Nggak apa-apa. Ya udah aku tutup, ya."
Itu saja yang Dewa katakan. Tanpa mau mendengar jawaban apa-apa lagi dari seberang sana Dewa sudah terlebih dahulu memutuskan sambungan.
Tangannya lalu kembali mencari kontak yang dia beri nama Maura dan langsung mendialnya. Tepat di nada sambung kedua, Maura mengangkat teleponnya.
"Halo, Wa," sapa Maura di seberang sana.
"Ra, lo di mana?"
"Di rumah. Kenapa?"
"Sibuk?"
"Enggak, kok. Kenapa, Wa?"
"Pintu rumah lo dibuka, Ra?"
Agak bingung, Maura mengerutkan keningnya sebelum menjawab. "Ditutup kayaknya, sih. Kenapa, sih, Wa?"
"Boleh dibuka, nggak? Gue mau masuk," jawab Dewa dengan suara yang tidak seperti biasanya Maura dengar. Terdengar pasrah dan lemas.
"Oh, lo ada di depan? Oke oke bentar, gue buka dulu."
"Belum. 10 menit lagi gue sampai sana, Ra."
Setelah menutup telepon, Dewa segera berjalan menuju mobilnya dan mengendarainya menuju rumah Maura dengan tangan yang masih meneteskan darah-darah.
***
Maura, Nando dan Dewa ternyata punya hidup yang nggak disangka, yaaaa... tapi memang setiap orang pasti juga punya masalahnya sendiri2 kan?
Semoga gak bosen baca cerita rumit ini hehe
<<Inesia Pratiwi>>
(re-publish 6/9/17)
YOU ARE READING
Hello, Memory! [COMPLETED]
Teen Fiction[DITERBITKAN] Ketika segalanya telah berlalu, kebersamaan menjadi terasa berarti. Cinta yang belum sempat diucapkan, hanya tertelan bersama memori. Keterlambatan menyadari perasaan, kini jadi penyesalan. Dihadapkan dengan beberapa pilihan membua...
Hello, Memory Kelima! (bagian 2)
Start from the beginning
![Hello, Memory! [COMPLETED]](https://img.wattpad.com/cover/57194961-64-k900663.jpg)