Hello, Memory Kesembilanbelas!

44.8K 3.8K 270
                                        


19

USAHA MELUPAKAN


Kejadian seperti ini terjadi bukan yang pertama kali. Sering. Tapi tidak pernah ada yang jera. Justru malah Dewa yang jera.

Papinya memang jarang ada di rumah. Sibuk membagi waktu dengan istrinya yang lain. Jika ada di rumah pun seperti tak ada. Sama saja. Keadaan rumah tetap sepi. Dewa, Papi dan Maminya hanya bertemu saat sarapan dan makan malam.

Keadaan rumah baru ramai hanya jika Papinya pulang saat Maminya sedang bersama tamu. Seperti sekarang ini.

Harusnya Dewa tidak perlu pulang saat keadaan rumah sedang ramai. Harusnya ia bisa seperti itu, cuek seperti anak-anak dengan keluarga berantakan seperti yang lainnya. Tapi Dewa tidak bisa. Ia memang membenci Mami dan Papinya. Tapi ia tetap tidak bisa berhenti mempedulikannya.

Dewa akan selalu datang dan menengahi pertengkaran orangtuanya. Layaknya orangtua yang menengahi pertengkaran dua anaknya. Sayangnya kondisi Dewa berbanding terbalik dengan keluarga normal lainnya. Ia yang justru jadi penengah.

"Duh, berisik!" desis Dewa saat keluar dari mobil Luna yang tadi ia pinjam.

Suara pertengkaran itu bahkan terdengar sampai ke halaman rumah. Dimana tiga mobil mewah terparkir di sana. Mobil Papinya, Mami dan tamunya. Sebelum masuk ke rumah, Dewa menendang satu spion dari masing-masing mobil berharga mahal tersebut. Penuh marah dan benci. Sampai hancur.

Bi Warni langsung keluar saat mendengar pecahan spion mobil yang sudah bisa langsung ia pastikan kalau itu adalah ulah Dewa.

"Den!" panggil Bi Warni tergesa-gesa.

Dewa menoleh sambil merogoh sakunya mengambil dompet. Mengeluarkan uang seperti biasa untuk menyuruh seluruh pekerja di rumahnya pergi sementara.

"Saya dapet uang kampanye dari partai, Bi, nih bagi-bagi aja buat yang lain. Makan-makan di luar aja," kata Dewa. Asal seperti biasa.

Namun kali ini Bi Warni menggeleng. Wajahnya nampak seperti ingin menangis.

"Yang lain udah Bibi suruh keluar daritadi, Den. Bibi di sini aja, nemenin Den Dewa."

Dewa tersenyum. Hatinya tersentuh. Bi Warni yang sejak bayi merawatnya. Yang satu-satunya mengerti Dewa dibanding orangtuanya. Yang selalu menemaninya saat orangtuanya tak pernah peduli dengannya.

"Den Dewa jangan marah-marah, ya. Yang sabar ngadepinnya, nanti malah luka-luka lagi."

Jelas sekali kekhawatiran di wajah Bi Warni. Sepertinya wanita itu tak ingin lagi pergi di saat Dewa menghadapi orangtuanya, seperti yang biasa Dewa suruh padanya. Mulai sekarang Bi Warni ingin selalu menemani Dewa dan langsung merawat luka-lukanya.

Dewa menyentuh bahu Bi Warni lembut. Bersamaan dengan suara pecahnya barang di dalam rumah.

"Bibi tunggu sini aja, ya," kata Dewa lalu melangkah masuk ke rumahnya.

"Hati-hati, Den!" seru Bi Warni, gemetaran.

Keadaan ruang tamu masih bersih. Begitu pula dengan seluruh tempat di lantai satu ini. Tapi Dewa sudah bisa yakin keadaan di atas pasti sudah tak karuan bentuknya.

Saat menaiki tangga satu-persatu, Dewa menarik lagi lengan jaketnya semakin ke atas. Ia menarik dan membuang napasnya berkali-kali seolah sedang menyabarkan diri.

Begitu tiba di lantai dua, Dewa yang mengenakan sneaker putih menghentikan langkahnya mendadak. Ia pun berdecak sambil geleng-geleng.

"Gimana caranya gue lewat?" ucapnya pada diri sendiri saat melihat lantai penuh dengan pecahan kaca, lampu dan barang lain.

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now