Hello, Memory Keduapuluh Tiga!

41.4K 3.7K 156
                                        


23

SATU, DUA, LIMA


"Pa?" Maura mencoba menegur Pras yang masih tidak bergerak menatap Maminya Dewa. Tangannya menyentuh lengan Pras yang dibalut kemeja pendek warna hitam.

Pras menoleh dan langsung tersenyum. Ekspresinya saat tadi saling pandang dengan Mami Dewa kini berubah seolah tidak terjadi apa-apa.

Tapi Maura dan Dewa tahu, kalau pasti ada sesuatu yang terjadi di antara orangtua mereka.

"Kelas kamu di mana, Ra? Yuk, ambil raport nya," kata Pras.

Maura masih memandang Pras dengan kerutan penuh tanda tanya dan curiga. Rasa penasaran bersarang di kepalanya.

"Sekarang?" tanya Maura.

"Iya, Papa mau balik ke kantor lagi."

Maura pun mengangguk. Ia melirik Dewa dengan tatapan penuh arti. Tatapan yang sama-sama akan mereka mengerti bak telepati.

Lo juga ngerasa ada yang aneh kan? Begitu yang Maura sampaikan lewat tatapannya.

Dewa mengerti itu. Cowok yang berdiri di samping Nando itu mengangguk. "Sana liat peringkat lo," kata Dewa, pura-pura tidak terlihat sedang merasa curiga. Cowok ini memang pandai sekali mengubah suasana.

"Jangan lupa taruhan kita," balas Maura sambil menunjuk wajah Dewa dan Nando bergantian.

"Adek taruhan? Taruhan apa?" Pras menyahut dengan mata melotot.

"Bukan yang aneh-aneh kok, Pa." Maura menarik lengan ayahnya untuk berjalan keluar lapangan. "Ayo ambil raport aku."

Dan sebelum Pras mengayun kakinya mengikuti Maura, ia menoleh lagi ke arah Mami Dewa tadi berdiri. Tapi wanita itu sudah tidak berada di sana lagi.

***

Dewa duduk di sebelah Maminya, berhadapan dengan wali kelasnya. Ruang kelas sudah lumayan ramai karena dua puluh menit lagi adalah batas akhir waktu pengambilan raport. Diluar batas waktu itu, wali murid harus mengambilnya sendiri di ruang guru.

Selama ini Maminya tidak pernah terlambat mengambil raport Dewa. Wanita itu selalu menyempatkan waktunya untuk datang. Ia tidak ingin teman-teman Dewa mencurigai kalau hubungan keluarga mereka tidak baik. Jadi setiap pengambilan raport, Dewa dan Maminya akan selalu berakting layaknya ibu dan anak yang hangat, yang sering mengobrol di rumah.

Dewa sebenarnya muak dengan sandiwara ini. Tapi jauh di dasar lubuk hatinya terdalam, Dewa merasa sedikit senang. Meskipun hanya berpura-pura, ia bisa merasakan lagi walau hanya sesaat, bagaimana rasanya memiliki seorang ibu yang normal. Seperti yang pernah dirasakannya dulu.

"Gimana hasilnya Dewa, Pak?"

"Bagus sekali, Bu. Nilai-nilai Dewa tidak pernah mengecewakan. Nyaris sempurna semuanya. Seperti biasa."

Mami Dewa memulai aktingnya dengan memasang senyum lebar penuh bangga pada Dewa. Sambil merangkul Dewa yang bahunya lebih tinggi dari bahunya sendiri.

"Syukurlah..." Bahu Dewa diusap-usap oleh Maminya. Mata Dewa ditatap penuh binar olehnya. "Mami nggak pernah berhenti bangga sama kamu, sayang."

Rasanya Dewa ingin tertawa dan menangis secara bersamaan. Ia miris sekaligus terharu. Di hatinya terbesit keinginan agar ini bukanlah hanya sebuah sandiwara.

"Jika nilai Dewa bisa terus konsisten seperti ini hingga kelulusan, bukan tidak mungkin Dewa bisa masuk ke universitas manapun yang diinginkannya." Wali kelas Dewa berbicara lagi. "Bahkan mungkin dengan jalur beasiswa."

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now