Hello, Memory Keenam!

65.1K 4.8K 354
                                        

6

BUNGA TERINDAH



Maura langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan ketika melihat Dewa bersandar di pintu mobilnya dengan tangan yang penuh luka darah dan lebam. Setengah berlari Maura mendekati Dewa dan mengambil tangan kanan Dewa dengan cepat. "Ya ampun, Dewa!!" Maura hampir menjerit.

Dewa menatap Maura tanpa ekspresi. "Mau obatin nggak, Ra?"

Maura mengangkat kepalanya lagi menatap Dewa. Tangannya menggenggam tangan Dewa yang masih meneteskan darah. Saat matanya bertemu dengan mata cokelat Dewa, Maura tidak mampu lagi berkata-kata. Jika biasanya mata itu selalu menatapnya ceria dan jenaka, malam ini mata itu menatapnya penuh kesedihan.

Jauh dari seperti Dewa yang biasanya Maura kenal.

Alhasil, Maura hanya mampu mengangguk dan menggandeng Dewa masuk ke rumahnya. Menyuruhnya duduk di teras sementara Maura mengambil kotak obat di dalam rumah. Hanya ada Bi Kokom di dalam, karena Finda dan Pras masih dalam perjalanan pulang.

"Bi, tolong bikinin teh hangat buat Dewa, ya. Dan jangan tanya macem-macem pas nanti liat Dewa," pesan Maura pada Bi Kokom di dapur.

Semenjak pertama kali mengantar pulang Maura saat itu, Dewa jadi sering bertandang ke rumah Maura, untuk sekedar main, numpang istirahat, atau numpang minum. Oleh karena itu, baik Bi Kokom, Finda maupun Pras sudah sangat mengenal Dewa.

Bi Kokom hanya mengangguk dan mengerjakan tugasnya. Maura lalu kembali melangkah ke teras dengan kotak obat di tangannya. Di dalam hati, Maura terus bertanya-tanya tentang apa yang terjadi dengan Dewa. Namun, Maura berusaha menahannya karena merasa tidak memiliki hak memasuki area privasi Dewa.

"Sini gue obatin," kata Maura setelah duduk di sebelah Dewa.

Dewa menyerahkan tangan kanannya dan pasrah saat Maura mulai membasahi luka di tangannya dengan air dan obat merah. Malam ini di depan Maura, untuk pertama kalinya Dewa menunjukan sisi lain dirinya. Kelemahannya, kesedihannya dan kehancurannya.

Selama tangannya diobati, Dewa terus memperhatikan wajah Maura yang sedari tadi hanya diam tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.

"Ra, lo nggak mau tanya gue kenapa?" tanya Dewa.

Maura tidak menghentikan kegiatannya ataupun mengangkat kepalanya untuk membalas tatapan Dewa. "Everybody has their secret, and i don't want to know it."

"How if i want to share my secret with you?"

"I'm not a good secret keeper."

"But i trust you," jawab Dewa mantap.

Maura akhirnya mengangkat kepalanya. Dia mendesah pelan sambil menatap Dewa. "Okeee... lo tuh bikin gue khawatir! Sejak lo dateng, gue udah nahan-nahan diri buat nggak nanya kenapa lo bisa begini. Lo kenapa, Dewa? Kenapa lo jadi gini?" Pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut Maura.

Dewa tersenyum tipis. "Akhirnya gue ditanya. Akhirnya gue diperhatiin."

Maura tidak menanggapi, dia hanya menatap Dewa lekat-lekat.

"Gue nggak apa-apa kok, Ra. Gue cuma lagi ada di situasi yang memalukan buat diceritakan. Tapi sekarang, gue mau ceritain sama lo. Lo mau dengerin, Ra?"

Maura mengangguk pelan.

"Gue hampir ngebunuh orang," ucap Dewa yang membuat Maura melebarkan kedua matanya. "Gue hampir ngebunuh selingkuhan nyokap gue," lanjut Dewa yang membuat Maura semakin melebarkan matanya.

"Mungkin menurut oranglain, hidup gue sempurna karna gue bisa punya segalanya. Tapi padahal, hidup gue jauh lebih buruk dari mereka yang nggak punya apa yang gue punya, Ra. Bokap gue udah lebih dulu selingkuh, dan jarang pulang. Nyokap gue ikutan selingkuh sama anak-anak muda. Kerjaan gue di rumah cuma nonjok-nonjokin laki-laki yang masuk ke rumah gue, Ra. Itu alasannya kenapa gue selalu lebih betah ada di rumah lo daripada pulang ke rumah."

Hello, Memory!   [COMPLETED]Where stories live. Discover now